SEJARAH ILMU KALAM
Para
ahli telah mencoba mengidentifikasi ilmu ini dengan mengemukakan beberapa
definisi konkret, antara lain sebangai berikut : secara Bahasa kata kalam (Bahasa Arab) berarti “susunan
kata” yang mempunyai arti tertentu. Kata kalam
ini kemudian digunakan bukan dalam arti asal kebahasaannya, melainkan dalam
arti menunjuk kepada salah satu sifat Allah, yaitu sifat kalam yang membahas ajaran bidang akidah, seperti tentang zat Allah
dan sifat-sifat-Nya, membicarakan hal-hal mumkinat yang berhubungan dengan
mabda’ dan ma’ad, berdasarkan ajaran islam. Dengan demikian, ilmu kalam adalah
ilmu keislaman yang membahas masalah akidah atau keimanan berdarkan argument
rasional dan tentu saja tanpa mengesampingkan nash Al-Qur’an dan al-Sunnah. Di
dalam pembahasannya, para mutakalim lazim mengetengahkan dalil rasional
terlebih dahulu, lalu kemudian memperkuatnya dengan dalil nash Al-Qur’an dan
al-Hadis.
1. Ilmu Kalam Pada Awal Peradaban Islam
Pada awal-awal sejarah pemikiran islam,
ilmu kalam, tidak seperti ilmu fikih, kurang mendapat perhatian bahkan tidak
disetujui di kalangan muslimin. Sikap umat tersebut tidak lepas dari pengaruh
pola pembinaan keimanan di masa-masa awal islam itu sendiri, yaitu masa Rasulullah
dan para sahabatnya. Pada masa Rasulullah SAW, penamaan, pembinaan, dan cara
penerimaan keimanan cukup melalui hati, al-tashdiq bi al-qalb. Sementara itu,
suatu keimanan sudah di pandang cukup dengan mengimani apa yang harus diimani
secara global, tanpa membicarakannya lebih jauh dan mempertanyakannya secara
detail dan mendalam. Para sahabat tidak pernah mempertanyakan lebih jauh
masalah-masalah keimanan. Mereka telah puas mengimani melalui pembenaran hati
terhadap apa yang di sampaikan oleh Rasulullah,
tanpa mempersoalkan dan mempertimbangkannya melalui analisis akal. Di
masa Rasulullah, tidak seorang sahabat pun mempertanyakannya, misalnya,
bagaimana cara Allah ber-istiwa di ‘arasy, seperti yang di kemukakan di dalam
QS. Thaha(20):5. Sekiranya ada yang dipertanyakan hal tersebut, demikian Ahmad
Mahmud Shubhi, niscaya ia akan menerima jawaban seperti yang diberikan oleh
Imam Malik, bahwa “istiwa” itu telah jelas, bagaimananya tidak dapat diketahui,
mempertanyakannya adalah bid’ah dan mengimaninya adalah wajib.
Kenyataan Rasulullah tidak pernah membicarakan masalah
keimanan secara perinci, melainkan menganjurkan umat cukup mengimaninya tanpa
banyak bertanya, menyebabkan para sahabat dan tabi’in tidak berkenan bahkan
melarang membicarakan masalah masalah keimanan secara kalami, dalam arti
memperbincangkannya secara detail berdasarkan argumen dan analisis rasional. Bagaimana
Imam Malik misalnya, salah satu tokoh tabi’in, menyampaikan fatwa kepada para
muridnya seraya berkata : “mereka adalah yang memeperbincangkan perihal nama,
sifat, kalam, ilmu dan kekuasaan Allah; mereka membicarakan apa yang sengaja
tidak dibicarakan oleh para sahabat dan tabi’in. sikap senada diperlihatkan
oleh Imam Abu Hanifah dalam ungkapannya : “Allah melaknat Umar Ibn ‘Ubaid,
tokoh Mu’tazilah sezaman washil, karena ia telah membuka jalan bagi umat untuk
membicarakan masalah-masalah yang tidak berguna dibicarakan. Demikian, kalam
sama sekali tidak mendapat tempat di masa-masa awal islam. Pada zaman
Rasulullah, sahabat, dan generasi tabi’in mengimani materi pokok akidah dan
keimanan secara kalami yang berdasarkan analisis mendalam dan argument
rasional. Para sahabat dan tabi’in mengimani materi pokok akidah yang
disampaikan oleh Rasulullah secara global dan sepenuh hati, tanpa
mempertanyakan secara detail dan perinci, apalagi mempermasalahkan dan
memperdebatkannya.
Sebagaimana yang terjadi di dalam sejarah setiap agama,
penamaan dan pembinaan keimanan pada masa awal islam memang sudah dirasa cukup
dengan mengimani materi akidah secara global dan meyakininyaq melalui hati. Seseorang
misalnya, cukup mengimani sepenuh hati akan keberadaan Allah Yang Maha Esa, dan
tanpa mempertanyakan bagaimana konsep keesaan tersebut seharusnya dipahami dan
dijelaskan. Umat Islam pada masa awal-awal Islam belum merasakan arti penting
dan perlunya mengetahui lebih jauh dan memperbincangkan masalah-masalah yang
bersifat teoritis, seperti yang dibicarakan di dalam ilmu kalam. Masalah-masalah
yang dirasakan sangat perlu diketahui adalah yang dibicarakan dalam ilmu fikih.
Dengan kata lain, membicarakan dan mempersoalkan masalah-masalah teoritis
ketika itu dirasa tidak ada manfaatnya bagi umat, karena yang diperlukan di
dalam keberagamaan sehari-hari mereka adalah masalah yang bersifat amaliah. Dengan
demikian, tidak adanya kepedulian membicarakan masalah-masalah kalam secara
teoritis rasional pada periode-periode awal ini, sangat mungkin bukan karena
hal itu terlarang melainkan karena belum diperlukan. Keberadaan ilmu kalam
ketika itu belum diperlukan. Keberadaan ilmu kalam ketika itu belum dirasa
perlu, karena masalah bahasannya tidak atau kurang menyentuh kebutuhan
keberagamaan keseharian umat, yang ketika itu lebih mengutamakan tindak
ketaatan yang bersifat ibadah amaliah.
Membuka
peluang pembahasaan kalam di kalangan Muslim tidak menguntungkan secara
sosiologis. Masyarakat Muslimin pada periode awal ini sangat membutuhkan
persaudaraan dan persatuan, dan ini bisa terancam apabila Muslimin sudah
tenggelam dalam saling pendapat dan berdebat hujat, yang berpotensi menimbulkan
pertentangan dan perpecahan. Tidak menguntungkan bagi islam dan umatnya, yang
pada tahap awal perkembangannya, sudah harus menghadapi suasana perdebatan dan
silang pendapat yang dapat menjurus kepada perpecahan; laksana tunas yang baru
ditanam lalu dilanda banjir hujan deras. Dengan demikian, tidak adanya
perhatian, bahkan adanya perhatian, bahkan adanya larangan terhadap pembicaraan
tentang masalah akidah secara kalami di masa Rasulullah dan para khulafa
al-rasyidin tidak harus dipahami sebagai larangan mutlak terhadap ilmu kalam dan atau dijadikan
alasan untuk menolak keberadaan ilmu tersebut. Kenyataan yang demikian rasanya lebih
tepat dipahami secara kontekstual dari sudut pandang metode pembinaan umat yang
ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabat. Pada masa awal Islam ini, yang
diperlukan adalah terwujudnya umat yang satu dan bersatu di bawah kualitas
pemahaman dan intensitas rasional terhadap masalah-masalah keagamaan,
lebih-lebih masalah akidah yang sangat abstrak, yang dibuka sejak dini jelas
tidak menguntungkan bagi perkembangan agama islam yang baru lahir. Perbincangan
rasional terhadap persoalan keagamaan otomatis menimbulkan perbedaan, dan
perbedaan dan perpecahan umat jelas merupakan sebuah petaka. Pendek kata, baik
secara agamais, maupun politis, keberadaan ilmu kalam di awal sejarah islam
memang belum diperlukan. Bahkan keberadaannya ketika itu dapat merugikan islam
dan umatnya. Namun adalah hal yang sangat wajar apabila pada perkembangan
berikutnya, umat islam segera pindah dari tahap penerimaan akidah melalui hati
kepada tahap penerimaan akidah melalui pemikiran dan analisis rasional. Kondisi
tersebut dikarenakan kecenderungan mempertanyakan dan menganalisis suatu
masalah, termasuk masalah keimanan, adalah suatu hal yang sangat alami pada
manusia. Dengan kata lain, setiap orang pada dasarnya memiliki kecenderungan
dan kesiapan melakukan penalaran rasional dan berfikir filosofis.
2. Sejarah Kemunculan Ilmu Kalam
Secara
historis, di kalangan umat islam telah terjadi perbedaan pendapat yang
mengakibatkan lahirnya aliran-aliran kalam seperti: Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah. Lahirnya aliran kala ini sebagai
wujud implikasi adanya perbedaan politis tentang siapa yang berhak menjadi
khalifah untuk mengganti Nabi Muhammad SAW setelah wafat.
Sejarah berdirinya ilmu kalam apabila
dilihat dari factor penyebab dari dalam islam dan kaum muslimin sendiri, antara
lain :
- Al-Qur’an sendiri di samping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar, seperti golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan, menyembah bintang-bintang, bulan, matahari. Golongan yang tidak percaya akan keutusan Nabi-nabi dan tidak mempercayai kehidupan kembali di akhirat setelah nanti. Adanya golongan-golongan tersebut di samping adanya perintah Tuhan sudah barang tentu membuka jalan bagi kaum muslimin untuk mengemukakan alasan-alasan kebenaran ajaran-ajaran agamanya di samping menunjukka kesalahan-kesalahan golongan-golongan yang menentang kepercayaan-kepercayaan itu, dan dari kumpulan alasan-alasan itulah berdiri ilmu kalam.
- Ketika kaum muslimin selesai membuka negeri-negeri baru untuk masuk islam, mereka mulai tentram dan tenang fikirannya, di samping melimpah-ruahnya rizki. Di sinilah mulai mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-nas agama yang kelihatannya saling bertentangan.
- Persoalan politik, contohnya ialah soal khilafat (pimpinan pemerintah) ketika Rasulullah meninggal dunia, beliau tidak mengangkat seorang pengganti, tidak pula menentukan cara pemilihan penggantinya. Karena itu, antara sahabat Muhajirin dan Anshor terdapat perselisihan, masing-masing menghendaki supaya pengganti Rasul dari pihaknya. Inilah sebenarnya yang merupakan cikal bakal awal lahirnya pemikiran politis-teologis di kalangan umat islam.
Selain itu, ada faktor-faktor lain yang datangnya dari luar Islam dan kaum Muslimin, yaitu :
- Banyak di antara pemeluk-pemeluk Islam yang sebelumnya beragama Yahudi, Nasrani dan lain-lain yang memasukkan ajarannya kedalam ajaran islam.
- Golongan islam yang dulu, terutama golongan Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. Salah satu senjata yang digunakan dalam perang pendapat yaitu filsafat. Dengan masuknya filsafat, semakin banyak pembicaraan ilmu kalam.
- Sebagai kelanjutan dari sebab tersebut, para mutakallimin hendak mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat sehingga mereka terpaksa mempelajari logika dari filsafat, terutama segi ketuhanan.
Persoalan teologi Islam sebenarnya
bermula dan lebih didominasi oleh pergolakan politik, lebih tepatnya masalah khilafah, dengan warna sentimen kelompok
dan kesukuan yang cukup kental. Peralihan kekuasaan dari Nabi Muhammad SAW
kepada Abu Bakar yang melewati perdebatan serius di Tsaqifah Bani Sa’idah salah satu bukti warna politik, khususnya
masalah khilafah menjadi isu kental. Persoalan politik-teologi yang
menyelubungi pembunuh Utsman bin Affan di Madinah pada tahun 656 M semakin
memperuncing friksi umat Islam yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai
politik agama. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bermula dari lahirnya
gerakan kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap kebijakan politik yang
diambilnya. Ali sebagai khalifah terpilih pengganti Utsman mendapat tantangan
dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi Khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir
dari Mekah yang mendapat dukungan dari Aisyah, mereka dikalahkan Ali pada
perang jamal di Irak tahun 657 M. Thalhah dan Zubeir mati terbunuh, Ummul
Mukminin Aisyah dikembalikan ke Madinah dikawal pasukan yang dipimpin saudaranya
sendiri, yaitu Muhammad Ibn Abi Bakar. Selanjutnya Ali mendapat tantangan dari
Muawiyah Ibn Sufyan, gubernur Damaskus yang tidak mau mengakui Ali sebagai
Khalifah. Beliau menuntut agar Ali menghukum para pembunuh Ustman. Pertempuran
antara pasukan Ali dan Muawiyah tidak bisa dihindarkan lagi sehingga terjadilah
perang Siffin pada bulan Shaffar 37 H/658 M.
Perang
Siffin diselesaikan dengan tahkim/arbitrase
(perdamaian) ketika pasukan Muawiyah terdesak mundur. Pihak Ali yang mau
memenangkan perang mengalami kerugian yakni diturunkan dari jabatan khalifah
digantikan oleh Muawiyah. Walaupun demikian, Ali tetap mempertahankan jabatan
khalifah hingga wafatnya tahun 661 M. Sebagian tentara Ali yang tidak
menyetujui penyelesaian perang dengan jalan tahkim, meninggalkan barisannya
sehingga terkenal dengan nama al-Khawarij
(orang yang keluar dan memisahkan diri). Mereka menginginkan bahwa putusan
hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam
al-Qur’an. Mereka bersemboyan : la hukma
illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hakama illa
Allah (tidak ada pengantara selain dari Allah). Khawarij memandang Ali,
Muawiyah, Amr Ibn al-‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase adalah kafir. Mereka merujuk
kepada surat al-Maidah ayat 44 bahwa siapa yang tidak menentukan hukum dengan
apa yang telah diturunkan Allah adalah kafir. Oleh karena itu, keempat pemuka
Islam itu telah dipandang kafir/telah keluar dari Islam (murtad) sehingga mesti
dibunuh. Kaum Khawarij memutuskan untuk membunuh keempat pemuka Islam tersebut
dan hanya Ali yang berhasil dibunuh. Selanjutnya Khawarij pecah menjadi
beberapa sekte sehingga konsep kafir dalam Khawarij mengalami perubahan, yang
dianggap kafir bukan hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al-Qur’an,
tetapi orang yang berbuat dosa besar dipandang kafir pula.
Mengenai orang yang berbuat dosa besar
tersebut mempunyai pengaruh dalam pertumbuhan teologi dalam Islam, apakah masih
mukmin atau sudah menjadi kafir. Hal ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam
Islam, yaitu :
- Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
- Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
- Aliran mu’tazillah, tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam Bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Dalam
Islam, timbul pula aliran teologi yang terkenal dengan nama al-Qadariyah dan al-Jabariyah. Menurut Qadariyah,
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Dalam segala
tingkah lakunya, manusia (menurut faham Jabariyah) bertindak dengan paksaan
dari Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan, sehingga disebut
faham predestination or fatalism.
Selanjutnya, muncul aliran yang menentang Mu’tazilah
yakni Asy’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Aliran
Matudiriyah banyak dianut umat Islam bermazhab Hanafi sedangkan aliran
Asy’ariyah umumnya dianut oleh umat Islam Sunni lainnya.