IBNU TAIMIYYAH



RIWAYAT HIDUP IBNU TAIMIYYAH

Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim binTaimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 rabiul awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib dan hakim di kotanya.

ibn Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak leluasa kepada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud, serta seorang panglima dan penentang bangsa tartas yang berani. Selain itu ia dikenal sebagai seorang muhaddits, mufassir, faqih,teolog, bahkan memiliki pengetahuan luas tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Kritikannya ditujukan pula pada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan para ulama sezamannya. Berulang kali Ibn Taimiyah masuk kepenjara hanya karena bersengketa dengan para ulama sezamannya.

Dalam pemikirannya, Ibnu Taimiyah mengikuti madzab dari imam ahmad bin hanbal. Beliau merupakan sosok ulama yang mengutamakan nash Al Qur‟an dan Hadits sebagai rujukan pertama. Sesuai yang dijelaskan pada penjelasan Salafi dalam bahasan sebelumnya, ulama salafi lebih cenderung mengikuti cara  berpikir  para  sahabat,  tab‟in  dan  tabi‟ut  tabi‟in. Dalam bahasan ini Ibnu Taimiyah mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.

Pada saat beliau aktif dalam menuntut ilmu, beliau semapat menghabiskan kehidupannya di penjara Qal'ah di Damaskus. Menurut sejarah yang ada, hal tersebut dikarenakan adanya fitnah dari Ibnu Bathuthah yang menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah menganggangap dirinya sebagai utusan alloh. Dalam kutipannya beliau berkata: “Sesunguhnya Allah turun ke langit dunia sebagaimana turunku ini.” Lalu diapun turun satu tangga dari anak tangga yang ada di minbar masjid tersebut. Namun hal tersebut meruupakan fitnah yang dilontarkan Ibnu Bathuthah kepada Ibnu Taimiyah.

Beliau (Ibnu Taimiyah) wafat pada 22 Dzulqa‟dah tahun 728 Hijriyah. Menurut sejarahnya, beliau wafat dikarenakan sakit pada saat dipenjara. Tidak ada yang tahu mengenai penyakit tersebut, selain murid-murid dekat beliau.



PEMIKIRAN TEOLOGI IBNU TAIMIYYAH

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau. Begitu tiba di Damaskus, beliau segera menghafalkan al-Qur'an dan mendalami berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits negeri itu. Para ulama di Negara itupun sempat tercengang dengan kepintaran yang dimiliki Ibnu Taimiyah. Tidak ada seorangpun yang bias sepintar beliau.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang tafsir, hadits dan bahasa Arab. Selain itu, beliau telah mengkaji Musnad al-Imam Ahmad sampai beberapa kali dan mendalami pengkajian ilmu yang lainnya.

Ibnu Taimiyah pada saat itu banyak menjadi buah bibir di masyarakat. Banyak dari kalangan ulama juga heran dengan kemampuan Ibnu Taimiyah. Selain pintar dalam berpikir, beliau juga menjaga sopan santun dan juga rendah hati. Setiap malam dia tidak pernah meninggalkan shalat tahajud dan juga pula shalat fajar dan dhuha, beliau tidak meninggalkannya. Menurut Ibrahim Madzkur, pemikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut:
  1. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
  2. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal 
  3.  Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama. 
  4. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja. (Sahabat, tabiin dan tabiut tabiin). 
  5. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali. Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat- sifat Allah.

1. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
  • Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat. 
  • Sifat Ma'ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama', bashar dan kalam.
  • Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di  Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah. 
  • Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul alamin, khaliqul kaun dan lain- lain.
2. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul- Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.

3. Menerima  sepenuhnya  sifat  dan  nama   Allah   tersebut   dengan:  
  • Tidak mengubah maknanya kepada makna yang  tidak  dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual).
  •  Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri tathil) 
  • Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad) 
  • Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif) 
  • Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb  alal alamin).
Berdasarkan alasan diatas, Ibnu Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya. Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
  1. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia. 
  2. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
  3. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk. Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran dari Ibnu Taimiyah, dalam hal ini berpikir masalah Ilmu Kalam tau Teologi, beliau menjaukan hal-hal yang merejuk pada pemikiran seorang manusia. Beliau lebih mengutamakan peran dari Al Qur‟an dan Hadits. Seperti yang dijelaskan pada buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah” karangan Yazid bin Abdul Qadir Jailani menyatakan bahwa barang siapa yang pendapatnya sesuai dengan Al Qur‟an dan  As-Sunnah mengenai „aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia  disebut   Salafi   meskipun   tempatnya   jauh   dan berbeda masanya. Sebaliknya barang siapa yang pendapatnya menyalahi Al Quran dan As- Sunnah,  maka  ia  bukan  seorang  salafi  meskipun  ia  hidup pada zaman Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin.

Sebagai umat muslim sangatlah penting bagi kita untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan juga berfilsafat. Namun tatkala kita berfilsafat ada baiknya kita tidak meninggalkan nash dari Al Quran dan Hadits agar pemikiran kita lebih terarah. Selain itu pula sangat diperlukan peran guru atau orang yang lebih tahu tentang ilmu yang kita pelajari sehingga kita bisa mengkajinya bersama-sama.

Subscribe to receive free email updates: