HASAN HANAFI
RIWAYAT HIDUP
Hasan
hanafi adalah tokoh pembaharu islam yang sangat berpengaruh dan telah banyak
membawa perubahan sampai sekarang, karya-karya beliau masih axsis sampai saat
ini, dengan idiologi yang controversial justru membuat orang penasaran terhadap
sosoknya, dan mempelajari karya-karyanya. Tologi yang di ajarkan hanafi berhasil
ternanam dengan bail di kalangan timur, dan banyak di tiru oleh Negara-negara
islam lainnya
Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di
dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan
tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar,
terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan
tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara
historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban
besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan
sampai dengan Eropa moderen.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan
kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa
asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya,
sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri
untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak
oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu
ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan
segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan
perpecahan.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada
tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai
para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan
diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun
1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota
Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi
Ikhwanul MusliminSejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di
Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia
merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi
pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada
pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib
memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan
untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966.
Di Perancis inilah ia dilatih untuk ber¬pikir secara metodologis melalui
kuliah-kuliah mau¬pun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat
belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi
berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul
Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim¬bingan penulisan tentang
pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi mengajar di
Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi
profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971
sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem¬ple, Amerika Serikat.
Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasiona, baik di kawasan Negara Negara arab, asia, eropa, dan amerika membantunya semakin paham terhadap persolan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat islam di berbagai Negara. Hanafi berkali kali mengunjungi Negara Negara asing seperti belanda, swedia, Portugal,spanyol, prancis,jepang India Indonesia, sudan, dan saudi Arabia antara tahun 1980-1987. Dan sampai saat ini.
Pengalaman dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasiona, baik di kawasan Negara Negara arab, asia, eropa, dan amerika membantunya semakin paham terhadap persolan besar yang sedang dihadapi dunia dan umat islam di berbagai Negara. Hanafi berkali kali mengunjungi Negara Negara asing seperti belanda, swedia, Portugal,spanyol, prancis,jepang India Indonesia, sudan, dan saudi Arabia antara tahun 1980-1987. Dan sampai saat ini.
Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional,
Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan
(teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah
ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini
berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat
kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa
permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang
baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.
Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.
Teologi demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahyu. Ilmu Kalam adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan (discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for Granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diaadakan verifikasi dan falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.
Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
Secara historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai
kepentingan dan ia sarat dengan konflik social-politik. Teologi telah gagal
pada dua tingkat: Pertama, pada tingkat teoritis, kedua, pada tingkat praxis,
yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail
Raji Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988
Kusnadiningrat, E. Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri
Hasan Hanafi, Jakarta:Logos, 1999
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, bandung: Pustaka
Setia, 2006
Ridwan, A.H. Reformasi Intelektual Islam,Yohyakarta: Ittaqa
Press, 1998