MAKALAH SEJARAH ILMU KALAM
MAKALAH
Di
ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen
Pengampu: Cecep Hilman M. Pd
Oleh
kelompok 2:
Muhammad
Nurfan Maulana
Nurul
Fauziah
Refan
Ali Imron
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM SUKABUM
Jl. Lio Balandongan
Sirnagalih (Beugeg) No. 74 Kel. Cikondang Kec. Citamiang
Kota Sukabumi 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya. Terima kasih juga kami ucapkan
kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah
pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik
serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang
lebih baik lagi.
Sukabumi, 30 september 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................. 1
A.
Latar Belakang............................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan............................................................................................ 2
D.
Manfaat Penulisan......................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................... 3
A. Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam.............................................. 3
B. Sejarah Lahir dan Definisi
Ilmu Kalam...................................................... 6
BAB III
PENUTUP........................................................................................... 11
a. Simpulan.......................................................................................................... 11
b. Saran................................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas
mengenai akidah dengan memakai pendekatan logika. Ilmu ini mengarahkan
pembahasannya kepada segi-segi yang menjadi landasan pokok agama islam yaitu
kemahaesaan Tuhan, masalah nubuwah, akhirat dan hal yang berhubungan dengan
itu. Oleh sebab itu, ilmu ini menempati posisi sangat penting dan terhormat
dalam tradisi keilmuan islam.
Sejarah ilmu kalam yang lahir karena
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan menjadi pintu awal keberangkatan dan
perkembangan ilmu kalam. Pemikiran yang lahir akibat perbedaan sebuah
penafsiran mengenai ketuhanan dan permasalahan tentang dosa besar. Konsep dosa
besar ini diadakan oleh kaum khawarij yaitu kaum yang keluar dari golongan Ali
Bin Abi Thalib karena tidak menyetujui diadakan tahkim dan menganggap tahkim
itu sebagai dosa besar. Pemikiran-pemikiran kalam telah ada sejak permulaan
perkembangan ilmu kalam.
Pemikir-pemikir kalam itu di bedakan
menjadi dua kelompok dari sisi kerangka berfikir mereka, yakni kerangka
berfikir tradisional dan kerangka berfikir rasional. Kerangka tradisional yakni
sebuah kerangka berfikir yang menempatkan wahyu di atas akal manusia. Mereka
berfikir bahwa Al-qur’an adalah wahyu Allah yang diyakini kebenaran dan tugas
akal hanya membenarkannya saja tanpa berusaha memahami sebuah wahyu melalui
akal. Sedangkan kerangka berfikir rasional justru menempatkan peranan akal yang
sangat besar dalam memahami wahyu.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ilmu Kalam di Awal Sejarah
Pemikiran Islam ?
2. Bagaimana Sejarah Lahir dan Definisi
Ilmu Kalam ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Ilmu Kalam di Awal Sejarah
Pemikiran Islam.
2. Mengetahui Sejarah Lahirnya Ilmu Kalam.
3. Mengetahui Definisi Ilmu Kalam.
D.
Manfaat Penulisan
1. Dapat mengetahui Ilmu Kalam di Awal
Sejarah Pemikiran Islam.
2. Dapat mengetahui Sejarah Lahirnya Ilmu
Kalam.
3. Dapat mengetahui Definisi Ilmu Kalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam
Pada awal-awal sejarah pemikiran islam, ilmu
kalam, tidak seperti ilmu fikih, kurang mendapat perhatian bahkan tidak
disetujui di kalangan muslimin. Sikap umat tersebut tidak lepas dari pengaruh
pola pembinaan keimanan di masa-masa awal islam itu sendiri, yaitu masa
Rasulullah dan para sahabatnya.
Pada masa Rasulullah SAW,
penamaan,pembinaan, dan cara penerimaan keimanan cukup melalui hati,al-tashdiq
bi al-qalb. Sementara itu, suatu keimanan sudah di pandang cukup dengan
mengimani apa yang harus diimani secara global, tanpa membicarakannya lebih jauh
dan mempertanyakannya secara detail dan mendalam. Para sahabat tidak pernah
mempertanyakan lebih jauh masalah-masalah keimanan. Mereka telah puas mengimani
melalui pembenaran hati terhadap apa yang di sampaikan oleh Rasulullah, tanpa mempersoalkan dan mempertimbangkannya
melalui analisis aka. Di masa Rasulullah, tidak seorang sahabat pun
mempertanyakannya, misalnya, bagaimana cara Allah ber-istiwa di ‘arasy, seperti
yang di kemukakan di dalam QS. Thaha(20):5.
Sekiranya ada yang dipertanyakan hal
tersebut, demikian Ahmad Mahmud Shubhi, niscaya ia akan menerima jawaban
seperti yang diberikan oleh Imam Malik, bahwa “istiwa” itu telah jelas,
bagaimananya tidak dapat diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah dan
mengimaninya adalah wajib.
Kenyataan Rasulullah tidak pernah
membicarakan masalah keimanan secara perinci, melainkan menganjurkan umat cukup
mengimaninya tanpa banyak bertanya, menyebabkan para sahabat dan tabi’in tidak
berkenan bahkan melarang membicarakan masalah masalah keimanan secara kalami, dalam
arti memperbincangkannya secara detail berdasarkan argumen dan analisis
rasional. Bagaimana Imam Malik misalnya, salah satu tokoh tabi’in, menyampaikan
fatwa kepada para muridnya seraya berkata : “mereka adalah yang
memeperbincangkan perihal nama, sifat, kalam, ilmu dan kekuasaan Allah; mereka
membicarakan apa yang sengaja tidak dibicarakan oleh para sahabat dan tabi’in.
sikap senada diperlihatkan oleh Imam Abu Hanifah dalam ungkapannya : “Allah
melaknat Umar Ibn ‘Ubaid, tokoh Mu’tazilah sezaman washil, karena ia telah
membuka jalan bagi umat untuk membicarakan masalah-masalah yang tidak berguna
dibicarakan.
Demikian, kalam sama sekali tidak
mendapat tempat di masa-masa awal islam. Pada zaman Rasulullah, sahabat, dan
generasi tabi’in mengimani materi pokok akidah dan keimanan secara kalami yang
berdasarkan analisis mendalam dan argument rasional. Para sahabat dan tabi’in
mengimani materi pokok akidah yang disampaikan oleh Rasulullah secara global
dan sepenuh hati, tanpa mempertanyakan secara detail dan perinci, apalagi
mempermasalahkan dan memperdebatkannya.
Sebagaimana yang terjadi di dalam
sejarah setiap agama, penamaan dan pembinaan keimanan pada masa awal islam
memang sudah dirasa cukup dengan mengimani materi akidah secara global dan
meyakininyaq melalui hati. Seseorang misalnya, cukup mengimani sepenuh hati
akan keberadaan Allah Yang Maha Esa, dan tanpa mempertanyakan bagaimana konsep
keesaan tersebut seharusnya dipahami dan dijelaskan.
Umat pada masa awal-awal Islam belum
merasakan arti penting dan perlunya mengetahui lebih jauh dan memperbincangkan
masalah-masalah yang bersifat teoritis, seperti yang dibicarakan di dalam ilmu
kalam. Masalah-masalah yang dirasakan sangat perlu diketahui adalah yang
dibicarakan dalam ilmu fikih. Dengan kata lain, membicarakan dan mempersoalkan
masalah-masalah teoritis ketika itu dirasa tidak ada manfaatnya bagi umat,
karena yang diperlukan di dalam keberagamaan sehari-hari mereka adalah masalah
yang bersifat amaliah.
Dengan demikian, tidak adanya kepedulian
membicarakan masalah-masalah kalam secara teoritis rasional pada
periode-periode awal ini, sangat mungkin bukan karena hal itu terlarang
melainkan karena belum diperlukan. Keberadaan ilmu kalam ketika itu belum
diperlukan. Keberadaan ilmu kalam ketika itu belum dirasa perlu, karena masalah
bahasannya tidak atau kurang menyentuh kebutuhan keberagamaan keseharian umat,
yang ketika itu lebih mengutamakan tindak ketaatan yang bersifat ibadah
amaliah.
Membuka peluang pembahasaan kalam di
kalangan Muslim tidak menguntungkan secara sosiologis. Masyarakat Muslimin pada
periode awal ini sangat membutuhkan persaudaraan dan persatuan, dan ini bisa
terancam apabila Muslimin sudah tenggelam dalam saling pendapat dan berdebat
hujat, yang berpotensi menimbulkan pertentangan dan perpecahan. Tidak
menguntungkan bagi islam dan umatnya, yang pada tahap awal perkembangannya,
sudah harus menghadapi suasana perdebatan dan silang pendapat yang dapat
menjurus kepada perpecahan; laksana tunas yang baru ditanam lalu dilanda banjir
hujan deras.
Dengan demikian, tidak adanya perhatian,
bahkan adanya perhatian, bahkan adanya larangan terhadap pembicaraan tentang
masalah akidah secara kalami di masa Rasulullah dan para khulafa al-rasyidin
tidak harus dipahami sebagai larangan
mutlak terhadap ilmu kalam dan atau dijadikan alasan untuk menolak
keberadaan ilmu tersebut. Kenyataan yang demikian rasanya lebih tepat dipahami
secara kontekstual dari sudut pandang metode pembinaan umat yang ditempuh oleh
Rasulullah dan para sahabat. Pada masa awal Islam ini, yang diperlukan adalah
terwujudnya umat yang satu dan bersatu di bawah kualitas pemahaman dan
intensitas rasional terhadap masalah-masalah keagamaan, lebih-lebih masalah
akidah yang sangat abstrak, yang dibuka sejak dini jelas tidak menguntungkan
bagi perkembangan agama islam yang baru lahir. Perbincangan rasional terhadap
persoalan keagamaan otomatis menimbulkan perbedaan, dan perbedaan dan
perpecahan umat jelas merupakan sebuah petaka. Pendek kata, baik secara
agamais, maupun politis, keberadaan ilmu kalam di awal sejarah islam memang
belum diperlukan. Bahkan keberadaannya ketika itu dapat merugikan islam dan
umatnya.
Namun adalah hal yang sangat wajar
apabila pada perkembangan berikutnya, umat islam segera pindah dari tahap
penerimaan akidah melalui hati kepada tahap penerimaan akidah melalui pemikiran
dan analisis rasional. Kondisi tersebut dikarenakan kecenderungan
mempertanyakan dan menganalisis suatu masalah, termasuk masalah keimanan,
adalah suatu hal yang sangat alami pada manusia. Dengan kata lain, setiap orang
pada dasarnya memiliki kecenderungan dan kesiapan melakukan penalaran rasional
dan berfikir filosofis.
B.
Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam
Ketika dunia islam berada pada era
Dinasti Bani Abbas, suasana perkembangan pemikiran umat mulai memperlihatkan
kecenderungan baru. Pada penghujung abad pertama atau awal abad kedua Hijriah,
muncul diskusi sistematis dan silang pendapat di sekitar persoalan kalam,
seperti masalah iman dan kufur, pelaku dosa besar, dan masalah qadha qadr.
Diskusi ini masih diikuti oleh para sahabat generasi akhir. Diskusi ini pula
yang pada gilirannya melahirkan ilmu kalam yang memusatkan materi bahasan pada
aspek akidah dengan metode sendiri, metode nasional.
Dan sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, pada masa awal kelahirannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri, ilmu
kalam memang belum dapat diterima oleh seluruh umat islam. Mayoritas umat masih
mencurigai bahkan memandang ilmu yang baru lahir ini sebagai bid’ah. Namun
dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam mengalami perkembangan dan kemajuan
yang lebih pesat dan mulai mendapat sambutan yang lebih pesat dan mulai
mendapat sambutan lebih baik dari mayoritas umat dengan lahirnya system kalam
mazhab Ahl al –Sunnah wa al-Jama’ah, yang dipelopori oleh tokoh Ismail Abu Hasan
al Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini, terutama al-Asy’ari
sangat berjasa dalam memperkukuh posisi ilmu kalam di mata umat. Dengan
lahirnya mazhab ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, ilmu kalam seakan sudah menjadi
barang halal dan diterima oleh seluruh umat islam.
Ilmu kalam, seperti ilmu keislaman
lainnya, juga mempunyai dasarnya sendiri dari sumber Al-Qur’an, baik menyangkut
aspek metode maupun materi. Secara metodologis, berpikir rasional sama sekali
bukan hal terlarang. Al-Qur’an menganjurkan Muslimin menggunakan daya pikir
atau nalar dan sebaliknya, mencela orang-orang yang tidak mau melakukan
aktivitas berpikir. Di dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang dikemukakan dalam
bentuk pertanyaan dan mengisyaratkan pentingnya aktivitas pemikiran dan
penalaran, seperti firman Allahافلا
تعقلون، افلا تتفكرون, افلا تنظرونdi samping ayat-ayat
lain seperti yang terdapat di dalam QS. Ali Imran: 190-191.
Begitu pula bila dilihat dari aspek
materinya, tema atau materi bahasan ilmu kalam sama sekali tidak bergeser dari
materi pokok akidah islamiah yang digariskan dan dititik beratkan oleh
Al-Qur’an yaitu masalah Allah dan tauhid. Masalah ini pula yang menjadi tema
pokok dalam kajian ilmu kalam. Tujuan para mutaklim atau teolog Muslim tidak
lain adalah untuk memperkenalkan, menamkan, dan membela kebenaran akidah
tauhid.
Karena itu, ditinjau dari segi metode
maupun materinya, keberadaan ilmu kalam bukan yang terlarang dalam islam.
Bahkan ilmu kalam mutlak diperlukan demi terbangunnya keimanan yang kukuh di
atas bukti dan argument yang kuat. Tanpa ilmu kalam dengan metode rasionalnya,
kaum muslim akan sulit membela dan memperkenalkan kebenaran akidah islamiah di
hadapan orang-orang terutama kaum non-muslim yang terbiasa berpikir rasional.
Ilmu kalam tetap diperlukan sebagai hal
yang sentral di dalam islam. Arti penting ilmu ini bukan dan jangan dilihat
dari sejarah awal keberadaannya yang lebih dominan berperan membela akidah
islamiah di hadapan orang-orang yang menentang atau mengingkarinya. Ilmu kalam
utamanya lebih dimaksudkan untuk menanamkan akidah yang kuat di kalangan intern
umat. Lagi pula persoalan akidah yang menjadi pokok bahasan ilmu kalam bukan
untuk satu atau beberapa generasi semata, melainkan untuk semua generasi dari
zaman ke zaman.
Para mutakalim zaman sekarang memang
tidak seharusnya mengulang dan memperdebatkan masalah-masalah kalam yang
dimunculkan oleh para mutakalim zaman klasik. Yang paling penting adalah harus
mampu menjawab dan menjelaskan persoalan-persoalan kekinian umat dalam perspektif
akidah. Oleh sebab itu, materi kalam harus dikembangkan dari yang bermuatan
teosentris semata kepada persoalan-persoalan yang menyentuh kehidupan umat
manusia.
Demikian ilmu kalam telah lahir di dunia
islam dengan materi, metode, dan karakternya sendiri, yang membedakannya dengan
disiplin keislaman lainnya. Para ahli pun telah mencoba mengidentifikasi ilmu
ini dengan mengemukakan beberapa definisi konkret, antara lain sebangai berikut
: secara Bahasa kata kalam (Bahasa
Arab) berarti “susunan kata” yang mempunyai arti tertentu. Kata kalam ini kemudian digunakan bukan dalam
arti asal kebahasaannya, melainkan dalam arti menunjuk kepada salah satu sifat
Allah, yaitu sifat kalam yang pernah
menjadi tema perdebatan hangat di Kalangan mutakalim. Perdebatan tersebut yang
kemudian melahirkan ilmu yang diberi nama ilmu kalam, yang membahas ajaran
bidang akidah, seperti tentang zat Allah dan sifat-sifat-Nya, membicarakan
hal-hal mumkinat yang berhubungan dengan mabda’ dan ma’ad, berdasarkan ajaran
islam.
Cukup banyak definisi yang telah
dikemukakan oleh para ahli tentang ilmu yang membahas masalah akidah ini. Ibn
Khaldun, misalnya mengemukakan definisi sebagai berikut :
علم يتضمن الحجاج عن العقائد الايمانية بالادلة العقلية والرد عن
الميتدعة المنحرفة في الاعتقادات عن مذاهب السلف واهل السنة.
Kalam adalah
ilmu yang membuat diskusi-diskusi tentang akidah atau keimanan berdasrkan
argument rasional dan berisi bantahan terhadap para pelaku bid’ah yang
menyimpang dari mazhab salaf dan Ahl al-Sunnah.
Definisi Ibn Khaldun ini secara
eksplisit mengisyaratkan bahwa ilmu kalam muncul untuk membela paham akidah
salaf dana Ahl al-sunnah, terkesan seakan paham yang bukan salaf dan ahl
al-Sunnah dipandang menyimpang. Definisi ini sekaligus mengandung kesan seakan
ilmu kalam tersebut lahir oleh tokoh salaf dan Ahl al-Sunnah.
Sementara al-Tahanawi memberikan definisi
kalam, sebagai berikut:
علم يقتدر منه على إىبات العقائد الدينية على الغير بإيراد الحجج ودفع
الشبه.
Kalam adalah
ilmu yang dengannya akidah agama (Islam) dapat diyakinkan kepada orang lain
dengan cara mengemukakan berbagai argument dan menangkis berbagai keraguan.
Tidak jauh berbeda, al-Iji mengemukakan
definisi ilmu kalam sebagai berikut :
علم يقتدر معه على إىبات العقائد الدينية بإيراد الحجج ودفع الشبه.
Kalam adalah ilmu yang
dengannya akidah agama dapat ditetapkan dengan mengemukakan argument-argumen
dan menangkis berbagai kerancuan serta keraguan.
Dari beberapa definisi yang telah
dikemukakan terlihat dua karakteristik utama bagi ilmu kalam. Pertama, materi
pembahasan ilmu ini terpusat pada masalah akidah, seperti masalah ketuhanan,
kenabian, dan masalah pokok keimanan lainnya. Kedua, ilmu kalam dalam
pembahasannya, menggunakan argumen rasional dan bukti-bukti yang kuat. Penggunaan
argumen rasional dan bukti-bukti kuat ini merupakan suatu keharusan bagi ilmu
kalam, karena tujuan ilmu ini tidak hanya sekedar memperkukuh dan mempertebal
keyakinan, melainkan sekaligus untuk membela akidah islam dengan mengemukakan
argument dan sanggahan terhadap orang-orang yang menyimpang. Al-Farabi,
misalnya, mengemukakan bahwa al-kalam adalah disiplin yang dengannya seseorang
dapat membela pendapat dan tindakan tertentu, sepanjang diperbolehkan oleh
Allah, serta mampu menangkis setiap pertanyaan yang menentang. Imam al-Ghazali
juga mengemukakan pernyataan senada, bahwa ketika ilmu kalam lahir dan berbagai
diskusi semakin meluas, para mutakalim semakin bersemangat membela al-Sunnah
dengan membahas hakikat berbagai masalah serta melibatkan diri dalam pembahasan
lebih jauh tentang jauhar dan ‘ard.
Dengan demikian, ilmu kalam adalah
ilmu keislaman yang membahas masalah akidah atau keimanan berdarkan argument
rasional dan tentu saja tanpa mengesampingkan nash Al-Qur’an dan al-Sunnah. Di
dalam pembahasannya, para mutakalim lazim mengetengahkan dalil rasional
terlebih dahulu, lalu kemudian memperkuatnya dengan dalil nash Al-Qur’an dan
al-Hadis.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada awal sejarah pemikiran islam, ilmu
kalam kurang mendapat perhatian bahkan tidak disetujui dikalangan muslimin.
Kalam sama sekali tidak mendapat tempat di masa-masa awal islam karena umat
pada masa awal-awal islam belum merasakan arti penting dan perlunya mengetahui
lebih jauh dan memperbincangkan masalah-masalah yang bersifat teoritis, seperti
yang dibicarakan di dalam ilmu kalam.
Ilmu kalam, seperti ilmu keislaman
lainnya, juga mempunyai dasarnya sendiri dari sumber Al-Qur’an, baik menyangkut
aspek metode maupun materi. Ditinjau dari segi metode maupun materinya,
keberadaan ilmu kalam bukan yang terlarang dalam islam. Bahkan ilmu kalam
mutlak diperlukan demi terbangunnya keimanan yang kukuh di atas bukti dan
argument yang kuat.
Dengan demikian, ilmu kalam adalah
ilmu keislaman yang membahas masalah akidah atau keimanan berdarkan argument
rasional dan tentu saja tana mengesampingkan nash Al-Qur’an dan al-Sunnah. Di
dalam pembahasannya, para mutakalim lazim mengetengahkan dalil rasional
terlebih dahulu, lalu kemudian memperkuatnya dengan dalil nash Al-Qur’an dan
al-Hadis.
B.
Saran
1.
Arti
penting ilmu kalam ini bukan dan jangan dilihat dari sejarah awal keberadaannya
yang lebih dominan berperan membela akidah islamiah di hadapan orang-orang yang
menentang dan mengingkarinya. Tetapi ilmu kalam utamanya lebih dimaksudkan
untuk menanamkan akidah yang kuat di kalangan intern umat.
2.
Kami
sebagai penyusun makalah ini sangat menyadari bahwa dalam penyusunan materi ini
banyak sekali kekurangan. Untuk itu kami meminta kepada para pembaca semuanya
untuk memberikan saran dan kritikannya supaya dalam pembuatan makalah
selanjutnya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Suryan A. Jamrah, M.A. 2015. STUDI ILMU KALAM. PT Kharisma Putra Utama
(PRENADAMEDIA GROUP): Jakarta
Sosok Ibrahimovic Dimata Chiellini Baca Berinya Disini!!!
ReplyDelete