H. M. RASYIDI


RIWAYAT HIDUP

Mohammad Rasjidi, nama lengkapnya Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Tokoh Muhammadiyah ini dilahirkan di Kotagede Yogyakarta pada 20 Mei 1915 (4 Rajab 1333 H) dan meninggal dunia di Jakarta pada 30 Januari 2001 dalam usia 86 tahun.

Rasjidi semasa kecil menempuh pendidikan Sekolah Ongko Loro, setingkat Sekolah Dasar dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas. Ketika Muhammadiyah mendirikan Sekolah Rendah di Kotagede, Rasjidi yang nama kecilnya Saridi tertarik sehingga pindah ke sekolah Muhammadiyah. Ia juga sempat masuk Sekolah Guru atau Kweekschool Muhammadiyah, namun hanya sampai Kelas 3. Selanjutnya masuk Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyah di Lawang Jawa Timur yang diasuh oleh Syaikh Ahmad Soorkati, salah seorang tokoh pembaharuan Islam di awal abad XX.
Setamat dari Perguruan Al-Irsyad, Rasjidi mendapat kesempatan  melanjutkan pendidikan ke Cairo Mesir. Ia masuk Darul ‘Ulum dan mengikuti ujian persamaan Sekolah Menengah Umum. Kedua kegiatan itu diselesaikannya pada 1934. Empat tahun kemudian (1938), Rasjidi menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra Jurusan Filsafat di Universitas Cairo. Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam buku 70 Tahun Rasjidi mengungkapkan bahwa Rasjidi dalam usia mudanya telah melakukan pengembaraan intelektual yang luas. Betul sekali. Rasjidi adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor (Ph.D) dalam ilmu keislaman dari Universitas Sarbonne pada 1956 dengan disertasi mengenai Serat Tjentini.  Pada 1958 – 1963 ia menjadi Associate Professor di McGill University, Montreal, Canada.

Sebagaimana diungkapkan dalam biografinya pengembaraan Rasjidi di luar negeri diakhiri dengan menjabat sebagai Wakil Direktur Islamic Centre di Washington DC, Amerika Serikat. Rasjidi kembali ke Tanah Air dalam hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Soekarno. Ia sempat menumpang tinggal di Jalan Menteng Raya 58 Jakarta, markas Sekretariat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) selama 9 bulan karena rumahnya di Jalan Diponegoro 42 Jakarta ditempati orang lain.

Ketika Rasjidi mencapai usia 70 tahun, Panitia Penulisan Buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi yang diketuai Prof. Dr. H.A. Mukti Ali (mantan Menteri Agama) menerbitkan buku 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Penyunting: Endang Basri Ananda, 1985). Saya mengutip kembali Sambutan Menteri Agama H. Munawir Sjadzali pada buku itu. Munawir menulis, “Terdapat tiga hal yang mendorong saya untuk mendukung prakarsa sementara kawan untuk menandai genap 70 tahun usia Profesor Dr. H.M. Rasjidi. Pertama, beliau adalah Menteri Agama RI yang pertama; kedua, beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan; dan ketiga, beliau adalah seorang ilmuwan Islam dan cendekiawan Muslim yang tangguh dan berwatak. Buku yang diterbitkan oleh Harian Umum Pelita itu juga memuat tulisan kenangan tentang Rasjidi dari mantan Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri.
Rasjidi diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Sjahrir II tanggal 3 Januari 1946. Pada Jum’at malam 4 Januari 1946 Menteri Agama H.M. Rasjidi menyampaikan pidato perdana melalui RRI Yogyakarta, menegaskan berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.

Pengangkatan Rasjidi sebagai Menteri Agama Pertama di masa revolusi kemerdekaan cukup unik. Semula ia sendiri tidak tahu tentang penunjukan itu. Satu hari Rasjidi menyuruh pembantunya membeli surat kabar Merdeka. Dilihatnya ada pengumuman pembentukan kabinet. Ia melihat ada nama H. Rasjidi. Ia  mengira itu nama orang lain yang kebetulan sama dengan namanya, apalagi ia sendiri merasa tidak pernah dihubungi oleh siapa pun untuk duduk di kabinet. Rupanya orang-orang di kampungnya membaca juga pengumuman itu. Di Kotagede Yogyakarta, lebih dikenal dengan nama Haji Rasjidi. Mereka mengirim kawat menanyakan apakah Haji Rasjidi yang dibaca di koran dan diangkat sebagai menteri itu, apakah dirinya. Sesudah beberapa lama kemudian datang utusan kabinet ke rumahnya di Jalan Kebon Kacang Jakarta untuk menjemputnya menghadiri sidang kabinet di Jalan Jawa, rumah kediaman Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Pada 1968 Rasjidi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Islam dan Lembaga-lembaga Islam Universitas Indonesia (UI). Pidato pengukuhannya berjudul Islam dan Indonesia Di Zaman Modern. Dalam pidatonya Rasjidi mendorong umat Islam Indonesia agar melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap ajaran-ajaran Islam secara ilmiah, seperti yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat. Ia menolak metode orientalis dalam memahami Islam karena akan hilanglah kekuatan jiwa yang didapat dari Al Quran.

Sebagai tokoh dan pejuang umat Rasjidi tahun 1967 ikut mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) bersama Mohammad Natsir dan sejumlah tokoh Masyumi lainnya. Ia lalu ditunjuk menjadi Wakil Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Di samping itu Rasjidi adalah Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Rasjidi juga mendapat amanah sebagai Imam Besar Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng Jakarta. Sekitar tahun 1980-an ia diminta oleh Kerajaan Saudi Arabia menjadi Kepala Kantor Perwakilan Rabithah Alam Al Islami di Indonesia dari tahun 1981  sampai 1988.

Menanggapi isu masuknya bahaya paham Syi’ah ke Indonesia, Rasjidi menulis buku Apa Itu Syi’ah (1984). Tujuan ditulisnya buku itu adalah untuk memberi pengertian kepada masyarakat tentang Syi’ah dan perbedaannya dengan Ahlusunnah. Sementara itu dalam buku kecil Hendak Dibawa Ke Mana Umat Ini? (1988) Rasjidi berpesan. “Ukhuwah Islamiyah pada waktu ini sangat penting, karena umat Islam sedang dirongrong oleh kekuatan internasional yang sangat besar”.
Semasa hidupnya Rasjidi seorang yang aktif dalam kegiatan ilmiah dan dakwah. Ia menuangkan buah pikiran dan pandangan-pandangannya yang jernih melalui buku dan artikel. Buku-buku karya Rasjidi yang saya catat, di antaranya: Filsafat Agama, Agama dan Etik, Islam dan Sosialisme, Islam Menentang Komunisme, Islam dan Kebatinan, Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam?, Islam dan Indonesia Di Zaman Modern, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Keutamaan Hukum Islam, Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi, Falsafah Agama, Islam dan Teori-teori Politik, Sikap Umat Islam Indonesia Terhadap Ekspansi Kristen, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen, Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975 artinya Bagi Dunia Islam, Dari Rasjidi dan Maududi kepada Paus Paulus VI, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional (tanggapan terhadap tulisan AMW Pranarka), Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah, Apa itu Syi’ah?, dan Hendak Dibawa Kemana Umat Ini?

Selain itu, ia juga menerjemahkan beberapa karya pemikiran Barat ke dalam bahasa Indonesia, seperti: Bible, Quran dan Sains Modern (Maurice Bucaille), Humanisme dalam Islam (Marcel A.Boisard), Janji-Janji Islam (Roger Garaudy), dan Persoalan-Persoalan Filsafat (Harold A. Titus).

Pandangan terhadap perkembangan Islam kontemporer di Indonesia pernah diutarakan oleh Rasjidi, “Menggembirakan. Dulu di zaman Belanda hanya sedikit orang Islam yang berminat kepada Islam, kini jamaah masjid dan majelis ta’lim melimpah. Ternyata perkembangan Islam itu tidak bisa dihambat. Itu semua berkat kerja keras kita bersama. Anak-anak demikian bergairah. Tetapi bahwa ada di antara anak-anak muda itu yang berpikiran aneh-aneh dan menjual dirinya untuk kepentingan sesaat, tentu sangat disayangkan. Saya yakin tanpa berpikiran aneh dan menjual diri, Islam ini akan tetap berkembang.” tegas Rasjidi kepada SerialMedia Da’wah.

Semasa hidupnya Rasjidi memperoleh tanda penghargaan Bintang Mahaputera Utama atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara yang diserahkan oleh Presiden Soeharto di Istana Negara pada 15 Agustus 1989. Ia dianugerahi Bintang Mahaputera berdasarkan usulan dari Departemen Luar Negeri. “Saya sendiri heran. Bintang Mahaputera itu kan kecil saja, tapi telepon di rumah saya terus menerus berdering-dering menanyakan soal itu. Belum lagi kawat (telegram), dan permohonan wawancara dari berbagai media massa yang datang bertubi-tubi,” ungkap beliau kepada Mohammad Syah Agusdin dan Lukman Hakiem dari Serial Media Dakwah yang mewawancarainya satu hari menjelang peringatan hari ulang tahun ke-44 kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1989.

PEMIKIRAN TEOLOGI H. M. RASYIDI

Perbedaan Kalam dan Teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen.” Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataa, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan.adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhananNabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.  

Tema-tema Ilmu Kalam 
Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah  deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat absolute-universal, berarti meremehkan ayat-ayat al-Qur’an seperti:  “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”)Q.S.Al-Baqarah:232)" 

Rasyid kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme.Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah.         
  
Hakikat Iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.”Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan.  

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon, Abdul Rozak. 2003. Ilmu kalam.Bandung:Pustaka Setia.

Halim,Abdul. 2001. Teologi Islam Rasional,Jakarta Selatan:Ciputat Pers.

Subscribe to receive free email updates: