ISMA'IL RAJI AL-FARUQI
RIWAYAT HIDUP
Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.
Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat. Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama Tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Kematian Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.
PEMIKIRAN TEOLOGI ISMA'IL FARUQI
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul
Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini
mengungkapkan bahwa:
Tauhid sebagai inti
pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat
menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum
Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman
agama dalam islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan
ini tidaklah sia-sia.
Tauhid sebagai intisari Islam
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas,
kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
Tauhid sebagai prinsip sejarah
Esensi
peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam
yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa
yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian
pun menjadi hilang.
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan
kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu
saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan
tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan
rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus
dalan ditetapkan sebagai kebenaran.
Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia
bersifat teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan
kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar
manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini,
keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi cirri dan meringkas pandangan
umat Islam tentang alam.
Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid menempatkan manusia pada suatu
etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai
pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran
ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Isa
terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi
para pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau
Kristen. Isa dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi. Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia,
suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau
kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi,
yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan,
dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam
Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
Tauhid sebagai prinsip tata sosial
Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu
dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan
setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun
sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya
untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim
keislamannya.
Tauhid sebagai prinsip ummah
Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip
ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang
etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat
manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua,
universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita
tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan
dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya
menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut
aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.
Tauhid sebagai prinsip keluarga
Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap
melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi
Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati
kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap
lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat
dengan tauhid.
Tauhid sebagai tata politik
Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan
pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi,
yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan
tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan
akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud
Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi.
Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul
dari kesepakatan.
Tauhid sebagai prinsip tata
ekonomi
Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua
prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras
yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri
dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi ekonomi mereka
pada diri mereka sendiri.
Tauhid sebagai prinsip estetika
Dalam
hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang
kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak
hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam
firman-firman-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Lamya. 1991. Allah, Masa Depan Kaum
Wanita, Terj. Masyhur Abadi. Surabaya: Al-Fikr.
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Raji Al-Faruqi, Ismail. 1988. Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Jakarta:
Pustaka.