TOKOH ILMU KALAM INDONESIA (HASYIM ASY'ARI)


PEMIKIRAN TOKOH ULAMA
DI INDONESIA ( KH. HASYIM ASY’ARI )


KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Atas segala nikmat yang di berikan-Nya kepada kita semua. Shalawat beserta salamnya semoga tercurah limpahkan kepada Rasulullah saw., para sahabat, dan seluruh umat islam hingga akhir zaman.
Alhamdulillah atas rahmat-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Ilmu Kalam, yang mana makalah ini berisikan tentang “PEMIKIRAN TOKOH ULAMA INDONESIA (K.H. HASYIM ASY’ARI)”.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan teman-teman sekelas yang selalu mendukung akan terselesaikannya makalah ini.
Semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya dan kami selaku yang menulisnya mendapat pahala yang sebesar-besarnya, aamiin yaa rabbal‘alamiin.







Sukabumi, 3 Oktober 2018


Kelompok 12



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
          KH. Hasyim atau lebih di kenal dengan K.H. Hasyim Asy’ari yaitu seorang tokoh ulama yang terkemuka di Indonesia dengan sejuta prestasi dan pemikiran-pemikirannya yang patut diajungi jempol. Selain itu beliau merupakan orang yang dalam akan ilmu agama. Beliau juga mengerti akan banyak ilmu lainnya seperti halnya siasah, tijaroh (perdagangan), Faroidl, Sosial dan lain-lainya.
          Pemikirannya dalam hal apapun dijadikan bahan referensi bagi mereka yang membutuhkan, baik itu dalam hal politik, agama, pendidikan dan lain sebagainya.
          Beliau juga mempunyai peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Seperti hal-nya tekad beliau yang sangat kuat dalam membangun pondok pesantren bagi generasi muda islam di daerahnya dengan menggunakan sistem yang berbeda dari sekolah-sekolah atau pesantren-pesantren di Indonesia pada saat itu.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi KH. Hasyim Asy’ari ?
2.    Apa yang menjadi tujuan KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren ?
3.    Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy’ari ?
C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.    Mengetahui riwayat hidup KH. Hasyim Asy’ari
2.    Mengetahui tujuan KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren
3.    Mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy’ari

PEMBAHASAN
A.    Biografi KH. Hasyim Asy’ari

   KH. Hasyim Asy’ari, lahir pada tanggal 14 Februari 1871, bertepatan dengan tanggal 24 Dzulqodah 1287 H, di desa Gadang, 2 km sebelah utara kota Jombang, Jawa Timur. Nama kecilnya adalah Muhammad Hasyim. Ayahnya bernama Kyai Asyari, Berasal dari Demak, Jawa Tengah, pengasuh dan pendiri Keras Jombang  (sekarang Al-Asyariyah). Ibunya bernama Halimah. M. Asyari adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara. Sejak kecil Muhammad Hasyim hidup di pesantren Gedang yang diasuh oleh kakeknya, Kyai Usman. Dari garis ibunya (Nyai Halimah) M. Hasyim, selain keturunan pemimpin agama, ia juga “berdarah biru”.
        Silsilah KH. Hasyim Asyari berasal dari keturunan ningrat dan ulama. Garis keturunan ini bila ditelusuri sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Soihah Bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir ( Mas Kerebet ) bin Prabu Brawijaya. Sedangkan dari garis bapak, sampai pada keluarga Ahlu Syaiban yang berasal dari keturunan para bangsawan Arab yang datang ke Indonesia pada abad ke-4 H untuk menyebarkan Islam ke Asia Selatan dan mendirikan pusat dakwah islam dan kesultanan-kesultanan Ahlu Adhamah Khan. Mereka adalah keturunan Imam Jafar Shodiq bin Imam Muhammad Baqir (Chairil Anam, 1985: 56-57: Muhammad Asad Syihab, 1994: 27). Pada usia 21 tahun Hasyim Asyari menikah dengan putri Kyai Yakub, pengasuh pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo. Setelah menikah mereka berangkat haji dan bermukim disana. Namun perkawinan dengan anak gadis gurunya itu tidak berlangsung lama karena sang istri meninggal dunia ketika melahirkan putra pertamanya saat mereka mukim di Mekkah. Bayinya juga menyusul ibunya setelah 40 hari kemudian. Muhammad Hasyim kemudian di jemput oleh mertuanya untuk pulang ke Jawa Timur, namun tiga bulan kemudian ia kembali lagi ke Mekkah untuk meneruskan mendalami ilmu agama. Setelah belajar di Mekkah selama tujuh tahun, M. Hasyim kembali ke kampung halamannya pada akhir 1899 M, kemudian ia mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur
          Hidup perkawinan Hasyim Asyari selalu dirundung musibah, selama tujuh kali perkawinannya selalu berakhir dengan cerai dan mati. Namun berbagai duka yang menimpanya, tidak membuat Hasyim putus asa dan menjadi penghalang untuk terus berjuang demi bangsa dan agamanya. KH. Hasyim Asyari selain sebagai ulama besar juga pahlawan bangsa. Semangat kepahlawannanya tidak pernah surut, bahkan beberapa kali beliau memberikan nasehat kepada Bung Tomo dan Panglima Soedirman yang datang ke Tebuireng, melaporkan tentang perkembangan agresi militer Belanda yang saat itu sudah memasuki Singosari, Malang. Sejak kanak-kanak, Hasyim dikenal sangat cerdas dan rajin belajar. Ia mula-mula belajar agama dengan ayahnya, yaitu belajar ilmu tauhid, fiqih, tafsir dan bahasa Arab. Karena kecerdasannya, maka usia 13 tahun Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan oleh guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para santri yang lebih senior.
        Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu, karena itulah selama dua tahun ia belajar dari pondok ke pondok pesantren lainnya. Mula-mula ia ke pondok pesantren Wonokoyo, Purbolinggo, kemudian ke pesantren Plangitan, tuban (sekarang Langitan), pesantren Tringgilis, pesantren Kademangan, Bangkalan Madura, dan akhirnya ke pondok pesantren Siwalan, Panji, Sidoardjo, yang di pimpin oleh Kyai Yakub. Di pondok Siwalan inilah ia belajar berbagai ilmu pengetahuan agama dengan tekun selama lima tahun. KH. Yakub sangat tertarik dengan kecerdasaanya dan sang kyai mendapatkan firasat bahwa Hasyim kelak akan menjadi seorang pemimpin besar yang berpengaruh. Karena itulah akhirnya Kyai Yakub menjadikan Hasyim sebagai menantunya (Chairil Anam, 1985: 58-59). Akhirnya Hasyim menikah dengan Khadijah, puteri dari Kyai Yakub. Setelah menikah, Kyai Yakub mengajak Hasyim dan istrinya pergi haji ke Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji, Kyai Yakub memerintahkan anak dan mantunya agar tetap bermukim di Mekah untuk menuntut ilmu. Ada anggapan saat itu bahwa seorang ulama, siapapun juga jika belum belajar di Mekah selama bertahun-tahun, belum dianggap cukup ilmunya. Karena itulah Hasyim mulai belajar menekuni ilmu fiqih madzhab Syafi’I dan ilmu hadits kitab Bukhari Muslim. Di bawah bimbingan guru-guru terkenal, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Mahfudz Termas.
     Ketiga gurunya itu adalah ulama besar terkemuka di Mekah. Sejajar dengan nama besar Muhammad Abduh, yang kala itu sedang giat-giatnya melancarkan paham pembaharuan islam. Tujuh bulan setelah bermukim di Mekah, istrinya meninggal dunia ketika melahirkan, demikian pula anaknya. Muhammad Hasyim sangat sedih sekali, untuk mengurangi kesedihannya ia thawaaf mengelilingi Ka’bah (Basit Adnan, 1982: 32). Hasyim sempat pulang ke tanah air, anmun kemudian kembali lagi ke Mekah untuk meneruskan belajarnya. Dari ketiga ulama besar yang paling berpengaruh pada diri Muhammad Hasyim adalah Syekh Mahfudz at-Tirmidzi, guru besar di Masjidil Haram yang juga berasal dari Termas Jawa Timur. Sehingga dikenal pula dengan Syekh Mahfudz Termas. Syekh Mahfudz mengajar hadits Shahih Bukhari. Muhammad Hasyim adalah murid kesayangannya, sehingga Hasyim juga dikenal sebagai ahli hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.
     Sebagai seorang ulama, pendidik dan pejuang bangsa, KH. Hasyim Asyari melalui pesantren Tebuireng telah banyak menghasilkan para ulama dan pemimpin bangsa. Hampir seluruh ulama besar di Jawa pernah belajar di Tebuireng. Sebagai seorang pendidik dan ulama yang berpengaruh, KH. Hasyim Assyari telah banyak menulis buku-buku yang bias menjadi pedoman bagi para santri-santri dan para ulama. Buku-buku karangan yang ditulis oleh KH. Hasyim Ayari khususnya di bidang pendidikan agama antara lain:
1.      Adab Al Alim wa Al Mutaalim (Perilaku guru dan murid)
2.      Ziyadah Taliqat. (Tambahan catatan-catatan) kitab ini berisi tentang jawaban-jawaban KH. Hasyim Asyari terhadap pernyataan dari Syekh Abdullah bin Yasin Al Pasuruani, yang dianggap beliau dapat melemahkan warga besar Nahdatul Ulama.
3.      At Tabihat al-Wajibat ( mengingatkan hal-hal yang wajib) kitab ini berisi peringatan kepada para santri dan umat islam terhadp hal-hal yang wajib bagi orang yang mengadakan peringatan mauled Nabi Muhammad dengan cara-cara yang munkar.
4.      Ar Risalah al-Jamiah (Kumpulan risalah-risalah) Kitab ini berisi penjelasan-penjelasan tentang keadaan orang yang meninggal dunia dan tanda-tanda hari kiamat serta penjelasan tentang pemahaman sunnah dan Bid’ah
5.      An Nur Al – Mubin (Cahaya penerang dalam mencintai saidul muraslin) Kitab ini berisi tentang makna cinta kepada sayyidil mursalin. Nabi Muhammad saw dan hal-hal yang mesti diikuti dalam rangka menghidupkan sunnahnya.
6.      Hasyiyah Ala Fath ar-Rahman. Kitab ini merupakan penjelasan dari atas risalah wali Ruslan karya Syekh al Islam Zakaria Al-Anshari.
7.      Ad-Durar al-Muntatsiroh Fi Masail at-Tisa Asyaroh (taburan permata yang indah tentang Sembilan belas perkara) Kitab ini membahas 19 masalah thariqat, wali-wali dan hal-hal penting bagi para pengikut thariqat.
8.      At Tibyan Fin Nahyi An MuqotaatAl Ikhwan (Larangan memustuskan kawan). Kitab ini menerangkan pentingnya menjalin hubungan silaturahmi antar sesame muslim dan menerangkan bahaya bila memutuskan hubungan silaturahmi tersebut.
9.      Ar Risalah At Tauhidiyah (Risalah Ketauhidan). Kitab ini merupakan risalah kecil tentang aqidah ahlussunnah waljamaah.
      Mungkin masih banyak kitab-kitab lain yang ditulis oleh KH. Hasyim Asyari yang belum berhasil diungkapkan, namun karya-karya di atas sudah cukup untuk mewakili hasil-hasil tulisan beliau.
B.     Tujuan KH. Hasyim Asy’ari Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
      Setelah tiga bulan pulang belajar dari Mekah, KH. Hasyim Asyari segera mengamalkan ilmunya untuk kepentingan umat. Mula-mula ia membantu mengajar di pesantren ayah-nya yang berada di Gedang. Namun ia merasa tidak leluasa untuk mengembangkan ilmu yang ia dapatkan selama belajar di Mekah. KH. Hasyim Asyari kemudian berusaha mendirikan pesantren sendiri, maka pada 26 Rabiul Awal bertepatan dengan 1899 M., ia mulai merintis pendirian pesantren yang diberi nama Tebuireng di Jombang. Kondisi daerah Jombang yang demikian buruk tersebut menjadi tantangan dan sekaligus dorongan KH. Hasyim Asyari untuk membina masyarakat melalui pendirian pesantren, dalam rangka menebarkan kebenaran walaupun banyak teman-teman KH. Hasyim Asyari yang mengkritik keberaniannya tersebut. Pada awal-awal pendirian pesantren muridnya  hanya berjumlah delapan orang, kemudian menjadi dua puluh delapan orang, yang tinggal di atas barak-barak yang terbuat dari bambu. Sejak awal ketika KH. Hasyim Asyari mendirikan Tebuireng pihak kolonial Belanda mencurigai ia tidak hanya sekedar mengajarkan agama melainkan juga mengarah pada perjuangan politis untuk kemerdekaan Indonesia, yang berarti melawan Belanda. Selain sebagai pendidik, KH. Hasyim Asyari juga adalah seorang ulama besar, pengetahuannya tentang agama (khusunya kitab Bukhari-Muslim) sangat mendalam, sehinnga KH. Hasyim Asyari menjadi tempat bertanya, tidak hanya para santri tapi juga para ulama, sehingga pada tahun 1920 beliau mendapat gelar “Hadratus Syeikh” dari para ulama, yang artinya maha guru  sebagai suatu penghormatan atas kedalaman ilmu agamanya.
       Perkembangan sistem pendidikan di Tebuireng mulai nampak setelah K.H Hasyim Asyari pada tahun 1929 menunjuk M. Ilyas (KH. Ilyas Ruhiyat mantan menteri agama RI lulusan pesantren Tebuireng dan lulusan HIS tahun 1926), sebagai kepala madrasah salafiah Tebuireng. Dari sejak itulah di masukkan pelajaran umum, membaca dan menulis latin, bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah Indonesia, ilmu berhitung yang memakai Bahasa Indonesia, kecuali sejarah Islam yang masih dengan Bahasa Arab. Salah satu konsep pendidikan yang dikembangkan oleh KH. Hasyim Asyari dalam proses belajar mengajar terhadap santrinya agar proses pendidikan bisa berjalan dengan baik yaitu melalui pendekatan etika dan akhlak guru dan murid yang disusun beliau dalam kitab “Adab al Alim wa al-Mutaallim”. Kitab ini secara garis besar berisi tentang perilaku murid terhadap dirinya, gurunya, dan pelajarannya. Disamping itu pula kitab tersebut membicarakan bagaimana perilaku guru terhadap dirinya, pelajaran, dan perilaku terhadap muridnya. Tebuireng berhasil memadukan tradisi pesantren dan perrkembangan ilmu pengetahuan umum. Setelah belajar di Tebuireng, para santri banyak yang mendirikan pesantren baru atau mengajar ilmu agama di pondok-pondok yang tersebar di pulau Jawa. Besarnya pengaruh Tebuireng dan kiprah dari para ulamanya telah membuat pemerintah Jepang mendata jumalah kyai/ulama yang ada di Jawa khususnya di Tebuireng. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Sumba Beppang (Gestapo Jepang) pada tahun 1942, terdapat dua puluh lima ribu kyai/ulama yang kesemuanya produk Tebuireng. Data itu menunjukkan betapa besar peran dan pengaruh KH. Hasyim Asyari dalam mencetak kader ulama untuk pengembangan dan penyebaran ajaran islam di Jawa pada awal abad 20.
C.    Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari (Mendirikan NU dan Upaya Memurnikan Madzhab)
KH. Hasyim Asy’ari dalam susunan pengurus hasil muktamar pertama NU tahun 1926 menempati posisi sebagai Rois Akbar di Dewan Syuriah, didampingi oleh wakil rois KH. Achmad Dahlan. Sedangkan Khatib Syuriah adalah KH. Wahab Hasbullah. Dengan demikian KH.Hasyim Asyari adalah Bapak Pendiri NU disamping KH. Wahab Habullah dan beberapa ulama lainnya yang terlibat dalam proses pendirian NU. Adapun tujuan didirikanya NU adalah untuk menegakkan syariat islam menurut paham Ahlussnnah waljamaah. Tampilnya KH. Hasyim Asyari sebagai pucuk pimpinan NU dan sekaligus sebagai ulama senior, merupakan modal yang sangat kuat dalam merintis persatuan para ulama tradisional untuk membesarkan NU. Disamping itu pula ketokohan KH. Hasyim Asy’ari yang karismatik memudahkan koordinasi dalam organisasi karena para ulama sangat respek, tunduk, patuh, dan setia kepada beliau, apalagi para santri yang pernah belajar di Tebuireng. Perkembangan NU sebagai jamiyyah semakin meningkat, terutama setelah muktamar kesembilan di Banyuwangi April 1934. Keberhasilan itu dibuktikan dengan mulai diberlakukannya mekanisme kerja organisasi yang baru dengan pemisahan antara sidang Syuriah dan Tanfidziyah. Sebelumnya Syuriah selalu mendominasi setiap keputusan partai sehingga Tanfidziyah tidak berhak memutuskan keputusan apapun yang berhubungan dengan masalah agama. Setelah muktamar di Banyuwangi Tanfidziyah mulai banyak berperan dalam menjalankan masalah teknis organisasi dan melaksanakan sidang Tanfidziyah tersendiri tidak bergabung/ikut dalam rapat-rapat yang si selennggarakan oleh Syuriah.
Kiprah para tokoh NU dalam  Konstelasi politik nasional semakin menampakkan citra islam madzhab, yaitu setelah pemerintah Belanda terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan dan mulai tersebarnya tulisan yang menghina islam, maka pertengakaran sebelumnya mencuat antara orang-orang NU dengan muktamarnya di Banjarmasin. NU menyerukan kepada umat islam dan jamiyyahnya untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan menghindari pertengkaran soal khilafiyah untuk menghadapi musuh-musuh islam yang sebenarnya. Dalam muktamar itu KH. Hasyim Asyari menyatakan: “Di antara kalian sampai ini masih mengobarkan api fitnah dan perselisihan, kalian masih saling unggul mengungguli dan saling bermusuhan. Hai para ulama yang taasshub pada sebagian madzhab atau qaul ulama, tinggalkanlah taasshub kalian terhadap masalah-masalah yang furu’ (cabang), karena masalah ini ada dua pendapat, pertama, bahwa setiap mujtahid itu benar, kedua, bahwa yang benar hanyalah satu. Tetapi yang salah tetap mendapatkan pahala. Maka tinggalkanlah taasshub kalian”. (Chairul Anam 1985: 94-95).
Himbauan yang cukup keras namun bijak terrsebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asyari pada tahun 1936 sebagai respon atas pertengkaran masalah furuiyah antara NU dengan Muhammadiyah dan Persis dalam masalah talqin mayit, selamatan, ziarah kubur, baca ushalli dan masalah-masalah kecil lainnya. Karena itulah pada muktamar di Malang tahun 1937 KH. Hasyim Asyari mengundang kelompok islam lainnya untuk menghadiri muktamar NU tersebut dengan undangan sebagai berikut :
“kemarilah tuan-tuan yang mulia, kemarilah kunjungilah permusyawaratan kami, marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya agama dan umat, baik urusan agama maupun dunia. Sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan itu tergantung pada atas beresnya peri kehidupan dunia” (Chairil Anam, 1985: 96-97).
  Seruan KH. Hasyim Asyari cukup mengetuk kesadaran para tokoh islam akan perlunya kebersamaan, persatuan melalui musyawarah, sehingga mulai terjalin kembali semangat ukhuwah islamiyah. Semangat itulah yang mendorong KH. Abdul Wahab (NU), KH. ahmad Dahlan (NU), KH. Mas Mansur dan W. Mondowiseno (SI) pada bulan September 1937 mengadakan rapat di Surabaya dan berhasil membentuk badan federasi perkumpulan islam yang bernama Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). Ketokohan KH. Hasyim Asyari tidak hanya diakui oleh kalangan Nahdiyyin saja, melainkan diakui oleh berbagai tokoh dan ormas islam. Misalnya Yusril Ihza (1999: 78-84) menunjukkan salahsatu bukti pengakuan itu ketika di dirikannya Masyumi pada bulan November 1945, KH. Hasyim Asyari dipercaya sebagai ketua Dewan Syuro Partai Masyumi. Partai Masyumi berusaha menghimpun ormas-ormas islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis ke dalam suatu wadah organisasi. Untuk memperjuangkan nilai-nilai islam dalam kehidupan negara. Adapun tujuan Masyumi yaitu untuk menegakkan kedaulatan negara dan melaksanakan cita-cita islam dalam urusan kenegaraan. Tokoh Masyumi mengakui kemasyhuran dan pengaruh KH. Hasyim Asyari di kalangan masyarakat dan ulama di pulau Jawa. Karena ketokohan dan karismanya ia dipercaya sebagai ketua Dewan Syuro Masyumi. Namun KH. Hasyim kemudian tidak aktif secara langsung dalam pergerakan politik Masyumi disebabkan karena usianya yang mulai uzur dan beliau lebih banyak di Jawa Timur menekuni pesantrennya hinga beliau wafat.,





DAFTAR PUSTAKA
·         Hamid, Shalahuddin dan Ahza, Iskandar. 2003. Seratus Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia. Cet.1. Jakarta: Intimedia Ciptanusantara.




Subscribe to receive free email updates: