TOKOH ILMU KALAM INDONESIA (HASYIM ASY'ARI)
PEMIKIRAN TOKOH ULAMA
DI INDONESIA ( KH.
HASYIM ASY’ARI )
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Atas segala
nikmat yang di berikan-Nya kepada kita semua. Shalawat beserta salamnya semoga
tercurah limpahkan kepada Rasulullah saw., para sahabat, dan seluruh umat islam
hingga akhir zaman.
Alhamdulillah
atas rahmat-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Ilmu Kalam, yang
mana makalah ini berisikan tentang “PEMIKIRAN TOKOH ULAMA INDONESIA (K.H.
HASYIM ASY’ARI)”.
Tak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan
teman-teman sekelas yang selalu mendukung akan terselesaikannya makalah ini.
Semoga dengan
terselesaikannya makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya dan kami
selaku yang menulisnya mendapat pahala yang sebesar-besarnya, aamiin yaa
rabbal‘alamiin.
Sukabumi,
3 Oktober 2018
Kelompok
12
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
KH.
Hasyim atau lebih di kenal dengan K.H. Hasyim Asy’ari yaitu
seorang tokoh ulama yang terkemuka di Indonesia dengan
sejuta prestasi dan pemikiran-pemikirannya
yang patut diajungi
jempol. Selain itu beliau merupakan orang yang
dalam akan ilmu agama. Beliau juga mengerti akan banyak
ilmu lainnya seperti halnya siasah, tijaroh (perdagangan), Faroidl, Sosial dan
lain-lainya.
Pemikirannya
dalam hal apapun dijadikan bahan
referensi bagi mereka yang membutuhkan, baik itu dalam hal politik, agama,
pendidikan dan lain sebagainya.
Beliau juga mempunyai peran yang
sangat penting dalam dunia pendidikan. Seperti
hal-nya tekad beliau yang sangat kuat dalam
membangun pondok pesantren bagi generasi muda islam di daerahnya dengan
menggunakan sistem yang berbeda dari
sekolah-sekolah
atau pesantren-pesantren
di Indonesia
pada saat itu.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi KH. Hasyim Asy’ari ?
2. Apa yang menjadi tujuan KH. Hasyim
Asy’ari mendirikan pondok pesantren ?
3. Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy’ari ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1. Mengetahui riwayat hidup KH. Hasyim
Asy’ari
2. Mengetahui tujuan KH. Hasyim Asy’ari
mendirikan pondok pesantren
PEMBAHASAN
KH. Hasyim Asy’ari, lahir pada tanggal
14 Februari 1871, bertepatan dengan
tanggal 24 Dzulqodah 1287 H, di desa Gadang, 2 km sebelah utara kota Jombang,
Jawa Timur. Nama kecilnya adalah Muhammad Hasyim. Ayahnya bernama Kyai Asyari, Berasal dari Demak, Jawa
Tengah, pengasuh dan pendiri Keras Jombang
(sekarang Al-Asyariyah). Ibunya bernama Halimah. M. Asyari adalah putra ketiga dari sebelas
bersaudara. Sejak kecil Muhammad Hasyim hidup di pesantren Gedang yang diasuh
oleh kakeknya, Kyai Usman. Dari garis ibunya (Nyai Halimah) M. Hasyim, selain
keturunan pemimpin agama, ia juga “berdarah biru”.
Silsilah KH. Hasyim Asyari berasal dari keturunan ningrat
dan ulama. Garis keturunan ini bila ditelusuri sebagai berikut: Muhammad Hasyim
bin Halimah binti Layyinah binti Soihah Bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran
Sambo bin Pangeran Benowo bin Joko Tingkir ( Mas Kerebet ) bin Prabu Brawijaya. Sedangkan dari
garis bapak, sampai pada keluarga Ahlu Syaiban yang berasal dari keturunan para
bangsawan Arab yang datang ke Indonesia pada abad ke-4 H untuk menyebarkan
Islam ke Asia Selatan dan mendirikan pusat dakwah islam dan
kesultanan-kesultanan Ahlu Adhamah Khan. Mereka
adalah keturunan Imam Jafar Shodiq bin Imam Muhammad Baqir (Chairil Anam, 1985:
56-57: Muhammad Asad Syihab, 1994: 27). Pada usia 21 tahun Hasyim Asyari menikah dengan putri
Kyai Yakub, pengasuh pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo. Setelah menikah mereka
berangkat haji dan bermukim disana. Namun perkawinan dengan anak gadis gurunya
itu tidak berlangsung lama karena sang istri meninggal dunia ketika melahirkan
putra pertamanya saat mereka mukim di Mekkah. Bayinya juga menyusul ibunya
setelah 40 hari kemudian. Muhammad Hasyim kemudian di jemput oleh mertuanya
untuk pulang ke Jawa Timur, namun tiga bulan kemudian ia kembali lagi ke Mekkah
untuk meneruskan mendalami ilmu agama. Setelah belajar di Mekkah selama tujuh tahun,
M. Hasyim kembali ke kampung
halamannya pada akhir 1899 M, kemudian ia mendirikan pesantren Tebuireng di
Jombang, Jawa Timur
Hidup perkawinan Hasyim Asyari selalu dirundung musibah,
selama tujuh kali perkawinannya selalu berakhir dengan cerai dan mati. Namun
berbagai duka yang menimpanya, tidak membuat Hasyim putus asa dan menjadi
penghalang untuk terus berjuang demi bangsa dan agamanya. KH. Hasyim Asyari
selain sebagai ulama besar juga pahlawan bangsa. Semangat kepahlawannanya tidak
pernah surut, bahkan beberapa kali beliau memberikan nasehat kepada Bung Tomo dan
Panglima Soedirman yang datang
ke Tebuireng, melaporkan
tentang perkembangan agresi militer Belanda yang saat itu sudah memasuki
Singosari, Malang. Sejak kanak-kanak, Hasyim dikenal sangat cerdas dan rajin
belajar. Ia mula-mula belajar agama dengan ayahnya, yaitu belajar ilmu tauhid,
fiqih, tafsir dan bahasa Arab. Karena kecerdasannya, maka usia 13 tahun Hasyim
sudah menguasai materi pelajaran yang diajarkan oleh guru dan ayahnya serta
mulai membantu ayahnya mengajar para santri yang lebih senior.
Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu, karena itulah selama dua tahun ia belajar dari pondok ke pondok pesantren lainnya. Mula-mula ia ke pondok pesantren Wonokoyo, Purbolinggo, kemudian ke pesantren Plangitan, tuban (sekarang Langitan), pesantren Tringgilis, pesantren Kademangan, Bangkalan Madura, dan akhirnya ke pondok pesantren Siwalan, Panji, Sidoardjo, yang di pimpin oleh Kyai Yakub. Di pondok Siwalan inilah ia belajar berbagai ilmu pengetahuan agama dengan tekun selama lima tahun. KH. Yakub sangat tertarik dengan kecerdasaanya dan sang kyai mendapatkan firasat bahwa Hasyim kelak akan menjadi seorang pemimpin besar yang berpengaruh. Karena itulah akhirnya Kyai Yakub menjadikan Hasyim sebagai menantunya (Chairil Anam, 1985: 58-59). Akhirnya Hasyim menikah dengan Khadijah, puteri dari Kyai Yakub. Setelah menikah, Kyai Yakub mengajak Hasyim dan istrinya pergi haji ke Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji, Kyai Yakub memerintahkan anak dan mantunya agar tetap bermukim di Mekah untuk menuntut ilmu. Ada anggapan saat itu bahwa seorang ulama, siapapun juga jika belum belajar di Mekah selama bertahun-tahun, belum dianggap cukup ilmunya. Karena itulah Hasyim mulai belajar menekuni ilmu fiqih madzhab Syafi’I dan ilmu hadits kitab Bukhari Muslim. Di bawah bimbingan guru-guru terkenal, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Mahfudz Termas.
Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu, karena itulah selama dua tahun ia belajar dari pondok ke pondok pesantren lainnya. Mula-mula ia ke pondok pesantren Wonokoyo, Purbolinggo, kemudian ke pesantren Plangitan, tuban (sekarang Langitan), pesantren Tringgilis, pesantren Kademangan, Bangkalan Madura, dan akhirnya ke pondok pesantren Siwalan, Panji, Sidoardjo, yang di pimpin oleh Kyai Yakub. Di pondok Siwalan inilah ia belajar berbagai ilmu pengetahuan agama dengan tekun selama lima tahun. KH. Yakub sangat tertarik dengan kecerdasaanya dan sang kyai mendapatkan firasat bahwa Hasyim kelak akan menjadi seorang pemimpin besar yang berpengaruh. Karena itulah akhirnya Kyai Yakub menjadikan Hasyim sebagai menantunya (Chairil Anam, 1985: 58-59). Akhirnya Hasyim menikah dengan Khadijah, puteri dari Kyai Yakub. Setelah menikah, Kyai Yakub mengajak Hasyim dan istrinya pergi haji ke Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji, Kyai Yakub memerintahkan anak dan mantunya agar tetap bermukim di Mekah untuk menuntut ilmu. Ada anggapan saat itu bahwa seorang ulama, siapapun juga jika belum belajar di Mekah selama bertahun-tahun, belum dianggap cukup ilmunya. Karena itulah Hasyim mulai belajar menekuni ilmu fiqih madzhab Syafi’I dan ilmu hadits kitab Bukhari Muslim. Di bawah bimbingan guru-guru terkenal, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Mahfudz Termas.
Ketiga gurunya itu adalah ulama besar terkemuka di Mekah.
Sejajar dengan nama besar Muhammad Abduh, yang kala itu sedang giat-giatnya
melancarkan paham pembaharuan islam. Tujuh bulan setelah bermukim di Mekah,
istrinya meninggal dunia ketika melahirkan, demikian pula anaknya. Muhammad
Hasyim sangat sedih sekali, untuk mengurangi kesedihannya ia thawaaf mengelilingi
Ka’bah (Basit Adnan, 1982: 32). Hasyim sempat pulang ke tanah air, anmun
kemudian kembali lagi ke Mekah untuk meneruskan belajarnya. Dari ketiga ulama besar yang paling berpengaruh pada diri
Muhammad Hasyim adalah Syekh Mahfudz at-Tirmidzi, guru besar di Masjidil Haram
yang juga berasal dari Termas Jawa Timur. Sehingga dikenal pula dengan Syekh
Mahfudz Termas. Syekh Mahfudz mengajar hadits Shahih Bukhari. Muhammad
Hasyim adalah murid kesayangannya, sehingga Hasyim juga dikenal sebagai ahli
hadits dan memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih Bukhari.
Sebagai seorang ulama, pendidik dan pejuang bangsa, KH.
Hasyim Asyari melalui pesantren Tebuireng telah banyak menghasilkan para ulama
dan pemimpin bangsa. Hampir seluruh ulama besar di Jawa pernah belajar di
Tebuireng. Sebagai seorang pendidik dan ulama yang berpengaruh, KH. Hasyim
Assyari telah banyak menulis buku-buku yang bias menjadi pedoman bagi para
santri-santri dan para ulama. Buku-buku karangan yang ditulis oleh KH. Hasyim Ayari
khususnya di bidang pendidikan agama antara lain:
1. Adab Al Alim wa Al Mutaalim (Perilaku
guru dan murid)
2. Ziyadah Taliqat.
(Tambahan catatan-catatan) kitab ini berisi tentang jawaban-jawaban KH. Hasyim
Asyari terhadap pernyataan dari Syekh Abdullah bin Yasin Al Pasuruani, yang
dianggap beliau dapat melemahkan warga besar Nahdatul Ulama.
3. At Tabihat al-Wajibat
( mengingatkan hal-hal yang wajib) kitab ini berisi peringatan kepada para
santri dan umat islam terhadp hal-hal yang wajib bagi orang yang mengadakan
peringatan mauled Nabi Muhammad dengan cara-cara yang munkar.
4. Ar Risalah al-Jamiah
(Kumpulan risalah-risalah) Kitab ini berisi penjelasan-penjelasan tentang
keadaan orang yang meninggal dunia dan tanda-tanda hari kiamat serta penjelasan
tentang pemahaman sunnah dan Bid’ah
5. An –
Nur Al – Mubin (Cahaya penerang dalam mencintai saidul muraslin) Kitab
ini berisi tentang makna cinta kepada sayyidil mursalin. Nabi Muhammad saw dan
hal-hal yang mesti diikuti dalam rangka menghidupkan sunnahnya.
6. Hasyiyah Ala Fath ar-Rahman.
Kitab ini merupakan penjelasan dari atas risalah wali Ruslan karya Syekh al
Islam Zakaria Al-Anshari.
7. Ad-Durar
al-Muntatsiroh Fi Masail at-Tisa Asyaroh (taburan permata yang indah tentang
Sembilan belas perkara) Kitab ini membahas 19 masalah thariqat, wali-wali dan
hal-hal penting bagi para pengikut thariqat.
8. At Tibyan Fin Nahyi An MuqotaatAl Ikhwan
(Larangan memustuskan kawan). Kitab ini
menerangkan pentingnya menjalin hubungan silaturahmi antar sesame muslim dan
menerangkan bahaya bila memutuskan hubungan silaturahmi tersebut.
9. Ar Risalah At Tauhidiyah (Risalah
Ketauhidan). Kitab ini merupakan risalah kecil tentang aqidah ahlussunnah
waljamaah.
Mungkin masih banyak kitab-kitab lain yang ditulis oleh
KH. Hasyim Asyari yang belum berhasil diungkapkan, namun karya-karya di atas
sudah cukup untuk mewakili hasil-hasil tulisan beliau.
B. Tujuan KH. Hasyim Asy’ari Mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng
Setelah tiga bulan pulang belajar dari Mekah, KH. Hasyim
Asyari segera mengamalkan
ilmunya untuk kepentingan umat. Mula-mula ia membantu mengajar di pesantren
ayah-nya yang berada di Gedang. Namun ia
merasa tidak leluasa untuk mengembangkan ilmu yang ia dapatkan selama belajar di
Mekah. KH. Hasyim Asyari kemudian berusaha mendirikan pesantren sendiri, maka
pada 26 Rabiul Awal bertepatan dengan 1899 M., ia mulai merintis pendirian
pesantren yang diberi nama Tebuireng di Jombang. Kondisi daerah Jombang yang demikian buruk tersebut
menjadi tantangan dan sekaligus dorongan KH. Hasyim Asyari untuk membina
masyarakat melalui pendirian pesantren, dalam rangka menebarkan kebenaran
walaupun banyak teman-teman KH. Hasyim Asy’ari
yang mengkritik keberaniannya
tersebut. Pada awal-awal pendirian
pesantren muridnya
hanya berjumlah delapan orang,
kemudian menjadi dua puluh delapan orang, yang tinggal di atas barak-barak yang terbuat dari bambu. Sejak awal ketika KH. Hasyim Asy’ari mendirikan
Tebuireng pihak kolonial
Belanda mencurigai ia tidak hanya sekedar mengajarkan agama melainkan juga
mengarah pada perjuangan politis untuk kemerdekaan Indonesia, yang berarti
melawan Belanda. Selain sebagai pendidik, KH. Hasyim Asyari juga adalah
seorang ulama besar, pengetahuannya tentang agama (khusunya kitab
Bukhari-Muslim) sangat mendalam, sehinnga KH. Hasyim Asyari menjadi tempat
bertanya, tidak hanya para santri tapi juga para ulama, sehingga pada tahun
1920 beliau mendapat gelar “Hadratus Syeikh” dari para ulama, yang
artinya maha guru sebagai suatu
penghormatan atas kedalaman ilmu agamanya.
Perkembangan sistem
pendidikan di Tebuireng mulai nampak setelah K.H Hasyim Asyari pada tahun 1929 menunjuk
M. Ilyas (KH. Ilyas Ruhiyat mantan menteri agama RI lulusan pesantren Tebuireng
dan lulusan HIS tahun 1926), sebagai
kepala madrasah salafiah Tebuireng. Dari sejak itulah di masukkan pelajaran
umum, membaca dan menulis latin, bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah Indonesia,
ilmu berhitung yang memakai Bahasa
Indonesia, kecuali sejarah Islam yang masih dengan Bahasa Arab. Salah satu konsep pendidikan yang dikembangkan oleh KH.
Hasyim Asyari dalam proses belajar mengajar terhadap santrinya agar proses
pendidikan bisa
berjalan dengan baik yaitu melalui pendekatan etika dan akhlak guru dan murid
yang disusun beliau dalam kitab “Adab al Alim wa al-Mutaallim”. Kitab
ini secara garis besar berisi tentang perilaku murid terhadap dirinya, gurunya,
dan pelajarannya. Disamping itu pula
kitab tersebut membicarakan bagaimana perilaku guru terhadap dirinya,
pelajaran, dan perilaku terhadap muridnya. Tebuireng berhasil memadukan tradisi
pesantren dan perrkembangan ilmu pengetahuan umum. Setelah belajar di
Tebuireng, para santri banyak yang mendirikan pesantren baru atau mengajar ilmu
agama di pondok-pondok yang tersebar di pulau Jawa. Besarnya pengaruh Tebuireng dan
kiprah dari para ulamanya telah membuat pemerintah Jepang mendata jumalah
kyai/ulama yang ada di Jawa khususnya di Tebuireng. Dari hasil pendataan yang
dilakukan oleh Sumba Beppang (Gestapo Jepang) pada tahun 1942, terdapat
dua puluh lima ribu kyai/ulama yang kesemuanya produk Tebuireng. Data itu
menunjukkan betapa besar peran dan pengaruh KH. Hasyim Asyari dalam mencetak
kader ulama untuk pengembangan dan penyebaran ajaran islam di Jawa pada awal
abad 20.
C. Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari (Mendirikan NU dan Upaya Memurnikan Madzhab)
KH. Hasyim Asy’ari dalam susunan pengurus hasil muktamar pertama NU tahun 1926
menempati posisi sebagai Rois Akbar di Dewan Syuriah, didampingi oleh wakil rois
KH. Achmad Dahlan. Sedangkan Khatib Syuriah adalah KH. Wahab Hasbullah. Dengan
demikian KH.Hasyim Asyari adalah Bapak Pendiri NU disamping KH. Wahab
Habullah dan beberapa ulama lainnya yang terlibat dalam proses pendirian NU.
Adapun tujuan didirikanya NU adalah untuk menegakkan syariat islam menurut
paham Ahlussnnah waljamaah. Tampilnya KH. Hasyim Asyari sebagai pucuk pimpinan NU dan sekaligus sebagai
ulama senior, merupakan modal yang sangat kuat dalam merintis persatuan para
ulama tradisional untuk membesarkan NU. Disamping itu pula ketokohan KH. Hasyim
Asy’ari yang karismatik memudahkan koordinasi dalam organisasi karena para
ulama sangat respek, tunduk, patuh, dan setia kepada beliau, apalagi para
santri yang pernah belajar di Tebuireng. Perkembangan NU sebagai jamiyyah semakin meningkat, terutama setelah
muktamar kesembilan di Banyuwangi April 1934. Keberhasilan itu dibuktikan
dengan mulai diberlakukannya mekanisme kerja organisasi yang baru dengan
pemisahan antara sidang Syuriah dan Tanfidziyah. Sebelumnya Syuriah selalu
mendominasi setiap keputusan partai sehingga Tanfidziyah tidak berhak
memutuskan keputusan apapun yang berhubungan dengan masalah agama. Setelah
muktamar di Banyuwangi Tanfidziyah mulai banyak berperan dalam menjalankan
masalah teknis organisasi dan melaksanakan sidang Tanfidziyah tersendiri tidak
bergabung/ikut dalam rapat-rapat yang si selennggarakan oleh Syuriah.
Kiprah para tokoh NU dalam Konstelasi
politik nasional semakin menampakkan citra islam madzhab, yaitu setelah
pemerintah Belanda terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan dan mulai tersebarnya
tulisan yang menghina islam, maka pertengakaran sebelumnya mencuat antara
orang-orang NU dengan muktamarnya di Banjarmasin. NU menyerukan kepada umat
islam dan jamiyyahnya untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan menghindari
pertengkaran soal khilafiyah untuk menghadapi musuh-musuh islam yang
sebenarnya. Dalam muktamar itu KH. Hasyim Asyari menyatakan: “Di antara kalian sampai
ini masih mengobarkan api fitnah dan perselisihan, kalian masih saling unggul
mengungguli dan saling bermusuhan. Hai para ulama yang taasshub pada
sebagian madzhab atau qaul ulama, tinggalkanlah taasshub kalian terhadap
masalah-masalah yang furu’ (cabang), karena masalah ini ada dua
pendapat, pertama, bahwa setiap mujtahid itu benar, kedua, bahwa yang benar
hanyalah satu. Tetapi yang salah tetap mendapatkan pahala. Maka tinggalkanlah taasshub
kalian”. (Chairul Anam 1985: 94-95).
Himbauan
yang cukup keras namun bijak terrsebut dilakukan oleh KH. Hasyim Asyari pada
tahun 1936 sebagai respon atas pertengkaran masalah furuiyah antara NU
dengan Muhammadiyah dan Persis dalam masalah talqin mayit, selamatan, ziarah
kubur, baca ushalli dan masalah-masalah kecil lainnya. Karena itulah pada
muktamar di Malang tahun 1937 KH. Hasyim Asyari mengundang kelompok islam
lainnya untuk menghadiri muktamar NU tersebut dengan undangan sebagai berikut :
“kemarilah tuan-tuan yang mulia,
kemarilah kunjungilah permusyawaratan kami, marilah kita bermusyawarah tentang
apa-apa yang menjadi baiknya agama dan umat, baik urusan agama maupun dunia.
Sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan itu tergantung pada
atas beresnya peri kehidupan dunia” (Chairil Anam, 1985: 96-97).
Seruan KH. Hasyim Asyari cukup mengetuk kesadaran para
tokoh islam akan perlunya kebersamaan, persatuan melalui musyawarah, sehingga
mulai terjalin kembali semangat ukhuwah islamiyah. Semangat itulah yang
mendorong KH. Abdul Wahab (NU), KH. ahmad Dahlan (NU), KH. Mas Mansur dan W.
Mondowiseno (SI) pada bulan September 1937 mengadakan rapat di Surabaya dan
berhasil membentuk badan federasi perkumpulan islam yang bernama Majelis Islam Ala
Indonesia (MIAI). Ketokohan KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya diakui oleh kalangan
Nahdiyyin saja, melainkan diakui oleh berbagai tokoh dan ormas islam. Misalnya Yusril Ihza (1999:
78-84) menunjukkan salahsatu bukti pengakuan itu ketika di dirikannya Masyumi pada
bulan November 1945, KH. Hasyim Asyari dipercaya sebagai ketua Dewan Syuro Partai Masyumi. Partai
Masyumi berusaha menghimpun
ormas-ormas islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis ke dalam suatu wadah
organisasi. Untuk memperjuangkan nilai-nilai islam dalam kehidupan negara.
Adapun tujuan Masyumi yaitu untuk
menegakkan kedaulatan negara dan melaksanakan cita-cita islam dalam urusan
kenegaraan. Tokoh Masyumi mengakui kemasyhuran dan pengaruh KH.
Hasyim Asyari di kalangan masyarakat dan ulama di pulau Jawa. Karena
ketokohan dan karismanya ia dipercaya sebagai ketua Dewan Syuro Masyumi. Namun
KH. Hasyim kemudian tidak aktif secara langsung dalam pergerakan politik
Masyumi disebabkan karena usianya yang mulai uzur dan beliau lebih banyak di
Jawa Timur menekuni pesantrennya hinga beliau wafat.,
DAFTAR PUSTAKA
·
Hamid,
Shalahuddin dan Ahza, Iskandar. 2003. Seratus
Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia. Cet.1. Jakarta: Intimedia
Ciptanusantara.