ASY'ARIYAH DAN MATURIDIYYAH (ALIRAN ILMU KALAM)
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran
Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiranini muncul
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya
berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya faktor politik
sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut
Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu
munculah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan
yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang sesuai koridor Al-Qur’an dan
sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam
tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal
yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang menamakan dirinya
sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada
akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal
Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu
Hassan Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ariyah dan Syeikh Abu
Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Aliran Asy’ariah dan
Maturidiyah inilah yang dipakai dalam pembahasan in
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Asy’ariyah?
2.
Apa yang dimaksud dengan Maturidiyah?
3.
Siapa tokoh-tokoh pada barisan kedua aliran
tersebut?
4.
Apa saja contoh pemikiran kalam dari kedua aliran
tersebut?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui apa itu Asy’ariyah.
2.
Mengetahui apa itu Maturidiyah.
3.
Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh Asy’ariyah
dan Maturidiyah.
4.
Mengetahui bagaimana teologi ajaran
Asy’ariyah dan Maturidiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asy’ariyah
Asy’ariyah berasal dari nama tokoh
pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari (lahir di Basrah 260 H/873 M
dan wafat di Baghdad 324 H/935 M). Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali
Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbai, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi
ketika berumur 40 tahun, ia menyatakan diri meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Munurut Harun Nasution, ada kemungkinan keluarnya
al-Asy’ari dari paham Mu’tazilah karena melihat bahwa teologi ini memang tidak
dapat diterima oleh kalangan umum umat Islam yang bersifat sederhana dalam
pemikiran. Hal ini akan menimbulkan pengaruh negatif dalam kalangan umat Islam.
Demi kemaslahatan dia berusaha menyusun teologi baru yang lebih sesuai dengan
kondisi dan pemikiran kalangan umum sebagai pegangan untuk mereka. Juga perlu
dicatat bahwa al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah pada saat golongan ini berada
dalam fase kemunduran.
Setelah keluar dari Mu’tazilah,
al-Asy’ari meletakkan dasar-dasar bagi suatu mazhab baru dengan mengambil
posisi antara ekstrem rasionalis (Mu’tazilah) yang mengakui keunggulan akal dan
menimbang semua penyataan, kepercayaan dan dogma agama melalui neraca akal dan
dan golongan ekstrem tektualis (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman
harfiyah). Karena mengambil jalan tengah, sehingga perumusan dogma Al-Asy’ari
pada intinya menyuguhkan suatu usaha untuk membuat sintesa antara pandangan
ortodoks yang waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Mu’tazilah.
B. Tokoh-tokoh Asy’ariyah
1. Al-Baqillani
Al-Baqillani merupakan tokoh kedua dalam teologi
Asy’ariyah setelah al-Asy’ari sendiri. Nama lengkap al-Baqillani adalah Abu
Bakar Muhammad ibn Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim Abu Bakar al
Baqillani. Ia diperkirakan lahir di Basrah setelah paroh kedua abad keempat
hijriyah. Ia wafat di Baghdad tahun 403 H/1013 M.
Ia mengenal ajaran-ajaran al-Asy’ari melalui dua
orang murid al-Asy’ari yaitu Ibnu Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahilli.Dalam
beberapa hal pemikiran kalam al-Baqillani tidak sejalan dengan al-Asy’ari.
Di antara pemikiran al-Baqillani yang berbeda dengan
al-Asy’ari adalah tentang sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan bagi al-Baqillani
bukanlah sesuatu yang berada diluar dzat-Nya atau sesuatu yang menempel pada
dzat-Nya. Sifat disamakannya dengan nama, sehingga tidak membawa pengertian
yang merusak keesaan Tuhan.
2. Al-Juwaini
Nama lengkap al-Juwaini adalah Abdul Ma’ali Abdul
Malik ibn Syaikh Abi Muhammad. Ia dilahirkan di Juwaini kawasan Naisabur, Persi
pada tahun 419 H/1028 M. Ia mendapat gelar “Dhiya’u al-Din” tetapi lebih
dikenal dengan gelarnya “Imam al-Haramain”, Imam dari dua tanah suci (Mekkah
dan Madinah), karena ia menetap disana sambil mengajar. Kemudian atas perintah
Perdana Menteri Nizam al-Muluk di Nizamiyah sampai akhir hayatnya pada tahun
478 H/105 M. Ia adalah guru utama Imam al-Ghazali yang pertama kali
memperkenalkan kepada muridnya itu studi kalam, filsafat, dan logika.
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Allah menjadi dua
kategori. Pertama adalah sifat Nafsiyah (sifat itsbat/positif bagi zat dan
selalu ada sepanjang ada zat) sifat ini qidam, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah,
berbeda dengan makhluk dan tidak mempumyai ukuran (imtidad-dimensi). Kedua
adalah sifat Ma’nawiyah (sifat yang timbul/ada karena sesuatu illat yang ada
pada dzat), seperti sifat berkuasa.
3. Al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad
ibn Muhammad al-Ghazali. Pada usia muda al-Ghazali sudah mempelajari fiqih di
Thus dan kemudian melanjutkan studinya di Jurjan di bawah bimbingan Abu Nasr
al-Isma’ili. Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus dan kemudian pergi ke
Naisabur.
Waktu di Naisabur, di bawah bimbingan al-Juwaini,
al-Ghazali menekuni ilmu fiqh, ushul fiqh, mantiq dan ilmu kalam hingga
al-Juwaini wafat tahun 478 H/1085 M.[20]
Setelah imam al-Haramain meninggal, al-Ghazali
pindah ke Mu’askar dan menetap disana kurang lebih lima tahun. Pada saat itu ia
sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana perdana
menteri Nizam al-Muluk. Melalui pertemuan-pertemuan ilmiah inilah al-Ghazali
mulai muncul sebagai ulama yang menonjol. Pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat
sebagai guru besar di Universitas Nizamiyah Baghdad dalam usia 34 tahun. Disana
ia memperdalam pengetahuannya di bidang filsafat. Dua karya yang ditulisnya
pada masa ini adalah Maqasid al-Falasifah (Maksud-maksud para filosof) dan
Tahafut al-Falasifah (Keracuan para Filosof)
C. Teologi Asy’ariyah
1.
Sifat-sifat
Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat yang riil dan abadi. Tuhan mengetahui melalui sifat
pengetahuan-Nya, berkehendak dengan sifat kehendak-Nya, dan
seterusnya.sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan Zat-Nya, tetapi tidak
pula berbeda dari pada-Nya. Sifat-sifat tersebut adalah riil walaupun tidak
diketahui ‘bagaimana’-nya sifat-sifat itu.
2.
Al-Quran
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Al-quran adalah kalam
Allah yang bersifat qadim, tidak diciptakan. Menurutnya, orang yang mengatakan
bahwa Al-quran adalah makhluk berarti mereka menyamakan Tuhan dengan patung
yang tidak mempunyai kalam dan tidak bertutur kata, sebagaimana jawaban Nabi
Ibrahim, ketika ditanya oleh kaumnya tentang orang yang telah merusak
Tuhan-Tuhan mereka, Nabi Ibrahim berkata:
قَالَ بَلْ
فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا
يَنطِقُونَ
Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar
itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka
dapat berbicara. (QS. al-Anbiya (21): 63)
Kalimat Nabi Ibrahim tersebut menunjukan bahwa jika berhala-berhala itu
tidak dapat berbicara, tentu mereka tidak bisa diakui sebagai Tuhan.
3.
Melihat
Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di
akhirat kelak. Pandangan ini didasarkan kepada firman Allah dalam al-Qiyamah
ayat 22-23:
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۞
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Al-Asy’ari membantah pendapat golongan al-Mu’tazilah
yang mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan argumen firman Allah
dalam Surah al-An’am (6) ayat 103:
لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ
Menurut al-Asy’ari, yang dimaksud tidak dapat
dilihat pada ayat tersebut adalah dunia, namun akhirat Allah dapat dilihat
karena melihat Allah SWT merupakan sesuatu yang paling lezat.
4.
Perbuatan
Manusia
Al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu
diciptakan oleh Tuhan. Bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah yang
mengatakan bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
5.
Antropomorfisme
Al-Asyari berpendapat bahwa Tuhan bertahta di ‘Arsy,
mempunyai makna, tangan, dan mata; tetapi tidak dapat ditentukan bagaimana
(bila kaifa). Menurut al-Asy’ari Tuhan hidup dengan hayat, tetapi hayat-Nya
tidak sama dengan hayat manusia. Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi tidak sama
dengan tangan manusia.
6.
Keadilan
Tuhan
Al-asy’ari mengatakan bahwa tidak ada satupun yang
wajib bagi Tuhan. Tuhan adalah berkuasa mutlak. Andaikata Tuhan memasukkan
seluruh manusia kedalam surga. Hal ini bukan berarti dia tidak adil. Sebaliknya
andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka maka Tuhan tidak dapat
dikatakan bersifat zalim,Tuhan adalah penguasa mutlak, bisa berbuat apa saja
yang Dia inginkan.
D.
Pengertian Maturidiyah
Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl al-Sunnah
wal-Jamaah yang tumbuh hampir bersamaan dengan Asy’ariyah. Sebagaimana
Asy’ariyah, Maturidiyah ini juga timbul sebagai reaksi atas aliran Mu’tazilah.
Hanya saja, al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yang menggunakan rasio
dalam pandangan keagamaannya, sehingga dalam bidang teologipun, al-Maturidi
banyak menggunakan akal. Hal ini membuat Maturidiyah mempunyai bebearapa
perbedaan pandangan dengan Asy’ariyah.
Salah satu pengikut penting al-Maturidi adalah Abu
al-Yusr Muhammad al-Bazdawi.ia mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sepaham
dengan al-Maturidi.Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini terdapat
perbedaan sepaham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah
terdapat dua golongan-golongan Samarkand, yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi
sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
1.
Maturidiyah
Samarkand
Maturidiyah Samarkand didirikan oleh Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Hanafi al-Mutakalim al-Maturidi al-Samakandi.
Ia lahir sekitar tahun 859 M di Maturid dekat Samarkand Wilayah Transoxiana
Asia Tenggara (sekaranng termasuk wilayah Uzbekistan Uni Sovyet) dan meninggal
pada tahun 944 M. Oleh sebagian penulis, al-Maturidi dinyatakan sebagai
keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari, seorang sahabat Rasul di Madinah.pendapat
ini diperkuat oleh fakta bahwa sebagian kaum kerabat al-Maturidi yang tinggal
di Samarkand adalah orang-orang yang berasal dari Arab Madinah.
Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yanng banyak
mengunakan rasio dalam pandangan-pandangan keagamaan. Sebagai pengikut Abu
Hanifah tentunya ia juga banyak menggunakan rasio dalam pemikiran teologi. Apa
lagi ia dibesarkan di Samarkand. Di daerah ini hadits tidak berkembang. Kedaan
seperti ini membuat al-Maturidi banyak memakai pertimbangan akal dalam
memecahkan berbagai masalah keagamaan. Oleh karena itu, meskipun al-Maturidi
tampil sebagai penentang ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah,
pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh al-Maturidi justru lebih dekat kepada
Mu’tazilah.
Dikalangan para penganut mazhab Hanafi, hasil
pemikiran al-Maturidi dalam bidang aqidah, dipandang sama dengan
pendapat-pendapat imam Abu Hanifah. Sebagaimana diketahui bahwa imam Abu
Hanifah sebelum memasuki lapangan fiqih secara intensif dikenal sebagai pemikir
teologi. Kedudukannya sebagai pemikir teologi itu juga melibatkan dirinya ke
dalam kancah perdebatan sebagai yang dituntut oleh suasana zamannya.
2.
Pandangan
Teologi Maturidiyah Samarkand
a. Fungsi Akal dan Wahyu
Menurut
al-Maturidi, akal dapat megetahui tiga persoalan pokok, yaitu:[36]
1) Mengetahui Tuhan
2) Mengetahui kewajiban berterima kasih
kepada Tuhan
3) Mengetahui baik dan buruk.
Menurut al-Maturidi, kewajiban mengetahui Tuhan itu
bisa ditemukan berdasarkan penalaran akal. Hal itu didasarkan pada beberapa
ayat al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berfikir mengenai kerjaan langit
dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekiranya akal pikiran
diarahkan secara konsisten, terlepas dari pengaruh hawa nafsu dan taklid,
niscaya ia akan sampai kepada iman dan ma’rifah kepada Allah. Hal itu merupakan
pengalaman terhadap nash-nash al-Quran. Sebaliknya, meninggalkan berpikir
merupakan pengabaian terhadap nash-nash tersebut. Tidak menggunakan akal sebagai
sarana untuk mengetahui Allah merupakan penyia-nyiaan terhadap berbagai
ketetapan yang telah diatur oleh Allah melalui penalaran.
b. Sifat sifat Tuhan
Al-Maturidi tidak setuju dengan paham Mu’tazilah
yang mengatakan bahwa Tuhan tidak bersifat dalam arti sifat yang berdiri diluar
dzat-Nya. Al-Maturidi mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan,
menurut al-Maturidi, mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
Sehubungan dengan masalah tajassum, al-Maturidi
tidak mempercayai adanya “anggota tubuh” pada Tuhan. Dalam al-Quran memang
terdapat kata-kata seperti: wajh allah (wajah Allah), yad Allah (tangan Allah),
ain Allah (mata Allah). Menurut al-Maturidi, kata-kata itu bermakna kekuasaan
Allah karena Allah tidak mungkin mempunyai badan meskipun dalam arti yang tidak
sama dengan makhluk. Badan itu tersusun dari substansi dan accident (jauhar dan
ard). Manusia berhajat pada anggota badan karena tanpa anggota badan manusia
menjadi lemah; adapun Tuhan tanpa anggota badan , Ia tetap Maha Kuasa.
c. Melihat Tuhan
Meskipun
al-Maturidi tidak mempercayai adanya tajassum, namun ia mempercayai bahwa Allah
bisa dilihat nanti di akhirat. Pandangan ini didasarkan pada surat al-Qiyamah
ayat 22-23:
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۞
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Artinya:
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka
melihat.”
Dalam
ayat 23 di atas, kata nazirah/melihat disebut sesudah kata wujuh atau muka
dalam ayat 22, sedang muka adalah tempat mata. Oleh karena itu, menurut
al-Maturidi, peristiwa yang disebutkan dalam ayat itu benar-benar akan terjadi
kelak di akhirat karena Allah sebagi wajibul wujud tentu dapat dilihat dengan
mata kepala, bukan dengan mata hati.
d. Keqadiman Al-Quran
Al-Maturidi berpendapat bahwa kalam Allah al-Quran
adalah kekal. Al-Quran, kata al-Maturidi, adalah sifat kekal dari Tuhan, satu,
tidak terbagi, tidak terbahasa, tapi diucapkan manusia dalam ekspresi
berlainan.
Lebih lanjut, al-Maturidi membagi al-Quran dalam dua
bentuk. Pertama: kalam nafsi, yaitu kalam yang ada pada zat Allah dan bersifat
qadim (dahulu), bukan dalam bentuk huruf atau suara. Kalam ini menjadi sifat
Allah sejak dahulu kala. Manusia tidak dapat mengetahui hakekat-Nya, bahkan
Nabi Musa pun tidak dapat mendengar kalam Allah yang sebenarnya, tetapi hanya
dapat mendengar suara yang mengatakan isi kalam itu. Kedua, kalam yang terdiri
dari huruf dan suara, yang disebut mushaf (kumpulan lembaran).
e. Perbuatan dan Kehendak Manusia
Bagi golongan Maturidiyah perbuatan manusia adalah
ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Maturidi, sebagai pengikut Abu Hanifah,
menyebut dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan
Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakai daya itu
sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama dengan perbuatan,
jadi bukannya sebelum perbuatan. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia
dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.
Mengenai soal kehendak al-Maturidi mengatakan bahwa
kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun
untuk kejahatan. Karena salah satu benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka
manusia diberi hukuman atau upah.
Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia, manusia
menggunakan daya yang diciptakan-Nya. Karena manusia diberikan kebebasan untuk
menggunakan daya tersebut maka ia akan dimintakan pertanggungjawabannya.
f. Janji dan ancaman Allah
Menurut al-Maturidi, Allah wajib menepati
janji-janji dan ancaman-ancaman-Nya karena jika tidak dilakukan-Nya akan
bertentangan kebebasan memilih yang ada pada manusia. Dalam hal ini,
al-Maturidi mempunyai pandangan yang sama dengan Mu'tazilah yaitu bahwa upah
dan hukum Tuhan tak boleh tidak mesti terjadi kelak sesuai dengan amal
perbuatan manusia.
g. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Dalam diri manusia itu diciptakan pula oleh Tuhan
suatu potensi (daya) yang dapat dipergunakan oleh manusia untuk berbuat baik
atau buruk. Terhadap potensi ini manusia bebas menentukannya sendiri. Oleh
karena itu, Tuhan mesti menjatuhkan hukuman yang tidak sewenang-wenang.
Kemastian hukuman berdasarkan atas pilihan bebas manusia dalam menggunakan
potensi itu. Disamping itu, Tuhan juga telah berjanji untuk memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik dan memberi siksa kepada orang yang berbuat
jahat. Janji-janji Tuhan itu, tidak boleh tidak mesti terjadi.
Oleh karena itu, kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan
sudah tidak absolut lagi. Namun, yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah
zat selain Tuhan, karena diatas Tuhan tidak ada suatu zatpun yang lebih
berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan
oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.
h. Keadilan Tuhan
Karena
al-Maturidi menganut paham kebebasan berkehendak dan berbuat, serta adanya
batasan bagi kekuasan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang lebih
dekat kepada kaum Mu’tazilah dari pada kaum Asy’ariyah. Dengan kata lain, Tuhan
dikatakan adil apabila Tuhan menepati janji-janji dan ancaman-ancaman-Nya,
yaitu akan memberi pahala kepada orang yang berbuatbaik dan membari balasan
siksa kepada oarang yang berbuat jahat.
i. Perbuatan Tuhan
Menurut Mu’tazilah, Tuhan wajib berbuat yang baik
dan terbaik untuk manusia (al-shalah wa al-shalah). Sementara menurut al-Asy’ari,
Tuhan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap manusia karena Tuhan Maha Kuasa
dan tidak ada kekuasaan lagi diatasnya.
Al-Maturidi mempunyai pandangan berbeda dengan kedua
pandangan tersebut. Al-Maturidi berpendapat bahwa Allah maka Suci dari berbuat
secara main-main. Segala perbuatan-Nya senantiasa sesuai dengan
kebijaksaan-Nya, dan karena dia Maha Bijaksana serta Maha Mengetahui
sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat itu. Ketika
menetukan hukum taklif dan melakukan segala perbuatan-Nya yang berkaitan dengan
penciptaan, Allah menghendaki dan memaksudkan semua itu atas dasar hikmah
tersebut. Dalam pada itu, tidak ada yang memaksa kehendak-Nya, karena Dia
sepenuhnya bebas memilih, Maha Menghendaki dan Maha Mengerjakan apapun yang
dikehendaki-Nya. Jadi berdasarkan hal itu tidaklah tepat dikatakan bahwa Allah
berkewajiban melakukan yang baik dan terbaik, karena kewajiban itu menafikan
kehendak, dan menandakan bahwa selain Allah ada yang berhak atas diri-Nya. Padahal Allah berada diatas
semuanya.
2. Maturidiyah Bukhara
A. Pendiri Maturidiyah Bukhara
Tokoh utama Maturidiyah Bukhara adalah Abu al-Yusr
Muhammad al-Bazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421 H dan meninggal pada tahun
493 H/1099 M di Bukhara. Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi.
Al-Bazdawi sendiri mengetahui ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Al-Bazdawi juga tidak selamanya sepaham dengan
al-Maturidi. Antara kedua tokoh Maturidiyah ini terdapat perbedaan paham
sehingga menjadi cabang tersendiri yang kemudian disebut Maturidiyah Bukhara
karena berkembangan di Bukhara.
B. Pandangan Teologi Maturidiyah Bukhara
a. Fungsi Akal dan Wahyu
Al-Bazdawi sepaham dengan al-Maturidi dalam hal
kemampuan akal manusia untuk mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan
buruk. Akan tetapi dia berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu tidak ada
kewajiban untuk mengetahui Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya, manusia juga
tidak wajib untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat.
Kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan
itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
b. Sifat Tuhan
Al-Bazdawi tidak setuju dengan pandangan Mu’tazilah
yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, karena menghilangkan sifat
Allah berarti meningkari pemiliknya. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memiliki
sifat-sifat dan sifat-sifat Allah itu kekal tetapi dengan kekekalan yang
terdapat dalam esensi Tuhan, bukan dengan kekekalan sifat itu sendiri.
Berkenaan antropomorfisme, seperti “tangan Tuhan”
dan “kursi Tuhan”, al-Bazdawi berpendapat bahwa “tangan Tuhan” itu adalah sifat
dan bukan “anggota badan” Tuhan, yaitu sifat yang sama dengan sifat-sifat lain,
seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Bahkan lebih jauh al-Bazdawi cenderung untuk
mentakwirkan ayat-ayat yang mengandung pengertian antropomorfisme. Sebagai
contoh ketika mengertikan ayat ke 54 dari surat al-A’raf;
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِ
Ia mengatakan bahwa Allah itu menguasai seluruh
alam.
c. Perbuatan Manusia
Al-Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah. Allah mewujudkannya dan manusia adalah pelakunya.
Perbuatan manusia timbul dari dirinya dengan kebebasan dan kemampuan yang baru.
Perbuatan manusia tersebut bukan perbuatan Allah. Perbuatan Allah hanyalah
menjadikan dan mewujudkan. Sedang perbuatan manusia adalah melakukan, bukan
mewujudkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia
hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. Jika
diibaratkan sebuah drama, manusia
hanyalah bagaikan aktor yang harus memainkan sekenario yang telah diciptakan
oleh sutradara.
d. Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan
Pandangan Maturidiyah Bukhara menekankan berlakunya
kehendak dan kekuasan mutlak Tuhan. Tuhan berbuat sekendak-Nya dan tidak ada
satu laranganpun bagi Tuhan. Ia membuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak
ada yang dapat menentang dan membatasi kehendak Tuhan, kendatipun pembatasan
tersebut adalah kemauan Tuhan sendiri.
e. Janji dan Ancaman Allah
Kaum Maturidiyah Bukhara dalam hal janji dan ancaman
Tuhan tidak sepenuhnya sepaham dengan al-Asy’ari, namun juga tidak sepenuhnya
sepaham dengan Maturidiyah Samarkand. Dalam pandangan Maturidiyah Bukhara ini,
tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi hukuman kepada orang yang
berbuat jahat.
BAB III
PENUTUP
Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu
al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari (lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafat di
Baghdad 324 H/935 M). Doktrin-doktrin teologi al-Asy’ari yaitu menyangkut Tuhan
dan sifat-Nya, Al-Qur’an, Perbuatan manusia, antropomorfisme, keadilan Tuhan,
pelaku dosa besar dan juga tentang melihat Tuhan di akhirat.
Maturidiyah di dirikan oleh al-Maturidi, nama
lengkapnya Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi. Ia lahir
sekitar tahun 859 M di Maturid dekat Samarkand Wilayah Transoxiana Asia
Tenggara dan meninggal pada tahun 944 M.Doktrin teologi Maturidiyah tentang
fungsi akal dan wahyu, Tuhan dan sifat-Nya,
keqadiman Al-Qur’an, perbuatan dan kehendak Manusia, janji dan ancaman
Allah, kekuasaan dan kehendak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan dan
tentang melihat Tuhan di akhirat.Sekte-sekte Maturidiyah, pertama adalah
golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara
yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Yang mana ajarannya banyak dianut oleh umat
Islam bermadzab Hanafi.
1. Untuk Mahasiswa
Sebagai mahasiswa sikap bijak
mempelajari dan memahami aliran ilmu kalam klasik ini tidak membuat diri
menjadi orang yang fanatic terhadap perbedaan pandangan.
2. Untuk Akademisi
Sebagai orang yang berpendidikan,
tentunya pola fikir dan cara menanggapi dari perbedaan kedua aliran tersebut
dengan mengambil sebuah kebenaran yang akurat dari berbagai sumber.yang dapatpertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution,
Teologi Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya jilid II, Jakarta: UI press, 1988
M.Yunan Yusuf,
Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990,