ASY'ARIYAH DAN MATURIDIYYAH (ALIRAN ILMU KALAM)


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Munculnya berbagai macam golongan aliran pemikiran Islam telah memberikan warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiranini muncul setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya berbagai golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya faktor politik sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu munculah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada golongan yang lain.
Golongan-golongan tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada yang sesuai koridor Al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari wahyu. Dan ada juga yang menamakan dirinya sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari yang merupakan pendiri aliran Asy’ariyah dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi sebagai pendiri aliran Maturidiyah. Aliran Asy’ariah dan Maturidiyah inilah yang dipakai dalam pembahasan in




B.    Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan Asy’ariyah?      
2.      Apa yang dimaksud dengan Maturidiyah?
3.      Siapa tokoh-tokoh pada barisan kedua aliran tersebut?
4.      Apa saja contoh pemikiran kalam dari kedua aliran tersebut?

 

C.   Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui apa itu Asy’ariyah.
2.      Mengetahui apa itu Maturidiyah.
3.      Untuk mengetahui siapa tokoh-tokoh Asy’ariyah dan Maturidiyah.
4.      Mengetahui bagaimana teologi ajaran Asy’ariyah dan Maturidiyah.










BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Asy’ariyah



Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari (lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafat di Baghdad 324 H/935 M). Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbai, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia menyatakan diri meninggalkan ajaran Mu’tazilah.
Munurut Harun Nasution, ada kemungkinan keluarnya al-Asy’ari dari paham Mu’tazilah karena melihat bahwa teologi ini memang tidak dapat diterima oleh kalangan umum umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran. Hal ini akan menimbulkan pengaruh negatif dalam kalangan umat Islam. Demi kemaslahatan dia berusaha menyusun teologi baru yang lebih sesuai dengan kondisi dan pemikiran kalangan umum sebagai pegangan untuk mereka. Juga perlu dicatat bahwa al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah pada saat golongan ini berada dalam fase kemunduran.
Setelah keluar dari Mu’tazilah, al-Asy’ari meletakkan dasar-dasar bagi suatu mazhab baru dengan mengambil posisi antara ekstrem rasionalis (Mu’tazilah) yang mengakui keunggulan akal dan menimbang semua penyataan, kepercayaan dan dogma agama melalui neraca akal dan dan golongan ekstrem tektualis (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiyah). Karena mengambil jalan tengah, sehingga perumusan dogma Al-Asy’ari pada intinya menyuguhkan suatu usaha untuk membuat sintesa antara pandangan ortodoks yang waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Mu’tazilah.

 


B.  Tokoh-tokoh Asy’ariyah

1.        Al-Baqillani
Al-Baqillani merupakan tokoh kedua dalam teologi Asy’ariyah setelah al-Asy’ari sendiri. Nama lengkap al-Baqillani adalah Abu Bakar Muhammad ibn Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim Abu Bakar al Baqillani. Ia diperkirakan lahir di Basrah setelah paroh kedua abad keempat hijriyah. Ia wafat di Baghdad tahun 403 H/1013 M.
Ia mengenal ajaran-ajaran al-Asy’ari melalui dua orang murid al-Asy’ari yaitu Ibnu Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahilli.Dalam beberapa hal pemikiran kalam al-Baqillani tidak sejalan dengan al-Asy’ari.
Di antara pemikiran al-Baqillani yang berbeda dengan al-Asy’ari adalah tentang sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan bagi al-Baqillani bukanlah sesuatu yang berada diluar dzat-Nya atau sesuatu yang menempel pada dzat-Nya. Sifat disamakannya dengan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Tuhan.
2.        Al-Juwaini
Nama lengkap al-Juwaini adalah Abdul Ma’ali Abdul Malik ibn Syaikh Abi Muhammad. Ia dilahirkan di Juwaini kawasan Naisabur, Persi pada tahun 419 H/1028 M. Ia mendapat gelar “Dhiya’u al-Din” tetapi lebih dikenal dengan gelarnya “Imam al-Haramain”, Imam dari dua tanah suci (Mekkah dan Madinah), karena ia menetap disana sambil mengajar. Kemudian atas perintah Perdana Menteri Nizam al-Muluk di Nizamiyah sampai akhir hayatnya pada tahun 478 H/105 M. Ia adalah guru utama Imam al-Ghazali yang pertama kali memperkenalkan kepada muridnya itu studi kalam, filsafat, dan logika.
Al-Juwaini membagi sifat-sifat Allah menjadi dua kategori. Pertama adalah sifat Nafsiyah (sifat itsbat/positif bagi zat dan selalu ada sepanjang ada zat) sifat ini qidam, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah, berbeda dengan makhluk dan tidak mempumyai ukuran (imtidad-dimensi). Kedua adalah sifat Ma’nawiyah (sifat yang timbul/ada karena sesuatu illat yang ada pada dzat), seperti sifat berkuasa.
3.        Al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali. Pada usia muda al-Ghazali sudah mempelajari fiqih di Thus dan kemudian melanjutkan studinya di Jurjan di bawah bimbingan Abu Nasr al-Isma’ili. Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus dan kemudian pergi ke Naisabur.
Waktu di Naisabur, di bawah bimbingan al-Juwaini, al-Ghazali menekuni ilmu fiqh, ushul fiqh, mantiq dan ilmu kalam hingga al-Juwaini wafat tahun 478 H/1085 M.[20]
Setelah imam al-Haramain meninggal, al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap disana kurang lebih lima tahun. Pada saat itu ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana perdana menteri Nizam al-Muluk. Melalui pertemuan-pertemuan ilmiah inilah al-Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang menonjol. Pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat sebagai guru besar di Universitas Nizamiyah Baghdad dalam usia 34 tahun. Disana ia memperdalam pengetahuannya di bidang filsafat. Dua karya yang ditulisnya pada masa ini adalah Maqasid al-Falasifah (Maksud-maksud para filosof) dan Tahafut al-Falasifah (Keracuan para Filosof)

C.      Teologi Asy’ariyah

1.                Sifat-sifat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang riil dan abadi. Tuhan mengetahui melalui sifat pengetahuan-Nya, berkehendak dengan sifat kehendak-Nya, dan seterusnya.sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan Zat-Nya, tetapi tidak pula berbeda dari pada-Nya. Sifat-sifat tersebut adalah riil walaupun tidak diketahui ‘bagaimana’-nya sifat-sifat itu.

2.                Al-Quran
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Al-quran adalah kalam Allah yang bersifat qadim, tidak diciptakan. Menurutnya, orang yang mengatakan bahwa Al-quran adalah makhluk berarti mereka menyamakan Tuhan dengan patung yang tidak mempunyai kalam dan tidak bertutur kata, sebagaimana jawaban Nabi Ibrahim, ketika ditanya oleh kaumnya tentang orang yang telah merusak Tuhan-Tuhan mereka, Nabi Ibrahim berkata:
قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا يَنطِقُونَ
Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara. (QS. al-Anbiya (21): 63)
Kalimat Nabi Ibrahim tersebut  menunjukan bahwa jika berhala-berhala itu tidak dapat berbicara, tentu mereka tidak bisa diakui sebagai Tuhan.
3.                Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat kelak. Pandangan ini didasarkan kepada firman Allah dalam al-Qiyamah ayat 22-23:
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  ۞ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Al-Asy’ari membantah pendapat golongan al-Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan argumen firman Allah dalam Surah al-An’am (6) ayat 103:
لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ
Menurut al-Asy’ari, yang dimaksud tidak dapat dilihat pada ayat tersebut adalah dunia, namun akhirat Allah dapat dilihat karena melihat Allah SWT merupakan sesuatu yang paling lezat.
4.                Perbuatan Manusia
Al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
5.                Antropomorfisme
Al-Asyari berpendapat bahwa Tuhan bertahta di ‘Arsy, mempunyai makna, tangan, dan mata; tetapi tidak dapat ditentukan bagaimana (bila kaifa). Menurut al-Asy’ari Tuhan hidup dengan hayat, tetapi hayat-Nya tidak sama dengan hayat manusia. Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi tidak sama dengan tangan manusia.
6.                Keadilan Tuhan
Al-asy’ari mengatakan bahwa tidak ada satupun yang wajib bagi Tuhan. Tuhan adalah berkuasa mutlak. Andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam surga. Hal ini bukan berarti dia tidak adil. Sebaliknya andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka maka Tuhan tidak dapat dikatakan bersifat zalim,Tuhan adalah penguasa mutlak, bisa berbuat apa saja yang Dia inginkan.

D.      Pengertian Maturidiyah



Maturidiyah merupakan salah satu sekte Ahl al-Sunnah wal-Jamaah yang tumbuh hampir bersamaan dengan Asy’ariyah. Sebagaimana Asy’ariyah, Maturidiyah ini juga timbul sebagai reaksi atas aliran Mu’tazilah. Hanya saja, al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yang menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya, sehingga dalam bidang teologipun, al-Maturidi banyak menggunakan akal. Hal ini membuat Maturidiyah mempunyai bebearapa perbedaan pandangan dengan Asy’ariyah.
Salah satu pengikut penting al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi.ia mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sepaham dengan al-Maturidi.Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini terdapat perbedaan sepaham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan-golongan Samarkand, yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
1.                Maturidiyah Samarkand
Maturidiyah Samarkand didirikan oleh Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Hanafi al-Mutakalim al-Maturidi al-Samakandi. Ia lahir sekitar tahun 859 M di Maturid dekat Samarkand Wilayah Transoxiana Asia Tenggara (sekaranng termasuk wilayah Uzbekistan Uni Sovyet) dan meninggal pada tahun 944 M. Oleh sebagian penulis, al-Maturidi dinyatakan sebagai keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari, seorang sahabat Rasul di Madinah.pendapat ini diperkuat oleh fakta bahwa sebagian kaum kerabat al-Maturidi yang tinggal di Samarkand adalah orang-orang yang berasal dari Arab Madinah.
Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah yanng banyak mengunakan rasio dalam pandangan-pandangan keagamaan. Sebagai pengikut Abu Hanifah tentunya ia juga banyak menggunakan rasio dalam pemikiran teologi. Apa lagi ia dibesarkan di Samarkand. Di daerah ini hadits tidak berkembang. Kedaan seperti ini membuat al-Maturidi banyak memakai pertimbangan akal dalam memecahkan berbagai masalah keagamaan. Oleh karena itu, meskipun al-Maturidi tampil sebagai penentang ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah, pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh al-Maturidi justru lebih dekat kepada Mu’tazilah.
Dikalangan para penganut mazhab Hanafi, hasil pemikiran al-Maturidi dalam bidang aqidah, dipandang sama dengan pendapat-pendapat imam Abu Hanifah. Sebagaimana diketahui bahwa imam Abu Hanifah sebelum memasuki lapangan fiqih secara intensif dikenal sebagai pemikir teologi. Kedudukannya sebagai pemikir teologi itu juga melibatkan dirinya ke dalam kancah perdebatan sebagai yang dituntut oleh suasana zamannya.
2.                Pandangan Teologi Maturidiyah Samarkand
a.        Fungsi Akal dan Wahyu
Menurut al-Maturidi, akal dapat megetahui tiga persoalan pokok, yaitu:[36]
1)      Mengetahui Tuhan
2)      Mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
3)      Mengetahui baik dan buruk.
Menurut al-Maturidi, kewajiban mengetahui Tuhan itu bisa ditemukan berdasarkan penalaran akal. Hal itu didasarkan pada beberapa ayat al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berfikir mengenai kerjaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekiranya akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari pengaruh hawa nafsu dan taklid, niscaya ia akan sampai kepada iman dan ma’rifah kepada Allah. Hal itu merupakan pengalaman terhadap nash-nash al-Quran. Sebaliknya, meninggalkan berpikir merupakan pengabaian terhadap nash-nash tersebut. Tidak menggunakan akal sebagai sarana untuk mengetahui Allah merupakan penyia-nyiaan terhadap berbagai ketetapan yang telah diatur oleh Allah melalui penalaran.

b.        Sifat sifat Tuhan
Al-Maturidi tidak setuju dengan paham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak bersifat dalam arti sifat yang berdiri diluar dzat-Nya. Al-Maturidi mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan, menurut al-Maturidi, mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
Sehubungan dengan masalah tajassum, al-Maturidi tidak mempercayai adanya “anggota tubuh” pada Tuhan. Dalam al-Quran memang terdapat kata-kata seperti: wajh allah (wajah Allah), yad Allah (tangan Allah), ain Allah (mata Allah). Menurut al-Maturidi, kata-kata itu bermakna kekuasaan Allah karena Allah tidak mungkin mempunyai badan meskipun dalam arti yang tidak sama dengan makhluk. Badan itu tersusun dari substansi dan accident (jauhar dan ard). Manusia berhajat pada anggota badan karena tanpa anggota badan manusia menjadi lemah; adapun Tuhan tanpa anggota badan , Ia tetap Maha Kuasa.
c.         Melihat Tuhan
Meskipun al-Maturidi tidak mempercayai adanya tajassum, namun ia mempercayai bahwa Allah bisa dilihat nanti di akhirat. Pandangan ini didasarkan pada surat al-Qiyamah ayat 22-23:
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  ۞ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.”
Dalam ayat 23 di atas, kata nazirah/melihat disebut sesudah kata wujuh atau muka dalam ayat 22, sedang muka adalah tempat mata. Oleh karena itu, menurut al-Maturidi, peristiwa yang disebutkan dalam ayat itu benar-benar akan terjadi kelak di akhirat karena Allah sebagi wajibul wujud tentu dapat dilihat dengan mata kepala, bukan dengan mata hati.

d.        Keqadiman Al-Quran
Al-Maturidi berpendapat bahwa kalam Allah al-Quran adalah kekal. Al-Quran, kata al-Maturidi, adalah sifat kekal dari Tuhan, satu, tidak terbagi, tidak terbahasa, tapi diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.
Lebih lanjut, al-Maturidi membagi al-Quran dalam dua bentuk. Pertama: kalam nafsi, yaitu kalam yang ada pada zat Allah dan bersifat qadim (dahulu), bukan dalam bentuk huruf atau suara. Kalam ini menjadi sifat Allah sejak dahulu kala. Manusia tidak dapat mengetahui hakekat-Nya, bahkan Nabi Musa pun tidak dapat mendengar kalam Allah yang sebenarnya, tetapi hanya dapat mendengar suara yang mengatakan isi kalam itu. Kedua, kalam yang terdiri dari huruf dan suara, yang disebut mushaf (kumpulan lembaran).
e.         Perbuatan dan Kehendak Manusia                
Bagi golongan Maturidiyah perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Maturidi, sebagai pengikut Abu Hanifah, menyebut dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakai daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama dengan perbuatan, jadi bukannya sebelum perbuatan. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.
Mengenai soal kehendak al-Maturidi mengatakan bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah satu benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah.
Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia, manusia menggunakan daya yang diciptakan-Nya. Karena manusia diberikan kebebasan untuk menggunakan daya tersebut maka ia akan dimintakan pertanggungjawabannya.

f.         Janji dan ancaman Allah
Menurut al-Maturidi, Allah wajib menepati janji-janji dan ancaman-ancaman-Nya karena jika tidak dilakukan-Nya akan bertentangan kebebasan memilih yang ada pada manusia. Dalam hal ini, al-Maturidi mempunyai pandangan yang sama dengan Mu'tazilah yaitu bahwa upah dan hukum Tuhan tak boleh tidak mesti terjadi kelak sesuai dengan amal perbuatan manusia.
g.    Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Dalam diri manusia itu diciptakan pula oleh Tuhan suatu potensi (daya) yang dapat dipergunakan oleh manusia untuk berbuat baik atau buruk. Terhadap potensi ini manusia bebas menentukannya sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mesti menjatuhkan hukuman yang tidak sewenang-wenang. Kemastian hukuman berdasarkan atas pilihan bebas manusia dalam menggunakan potensi itu. Disamping itu, Tuhan juga telah berjanji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan memberi siksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji-janji Tuhan itu, tidak boleh tidak mesti terjadi.
Oleh karena itu, kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan sudah tidak absolut lagi. Namun, yang menentukan batasan-batasan itu bukanlah zat selain Tuhan, karena diatas Tuhan tidak ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan kemauan-Nya sendiri pula.
h.        Keadilan Tuhan
 Karena al-Maturidi menganut paham kebebasan berkehendak dan berbuat, serta adanya batasan bagi kekuasan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah dari pada kaum Asy’ariyah. Dengan kata lain, Tuhan dikatakan adil apabila Tuhan menepati janji-janji dan ancaman-ancaman-Nya, yaitu akan memberi pahala kepada orang yang berbuatbaik dan membari balasan siksa kepada oarang yang berbuat jahat.

i.          Perbuatan Tuhan
Menurut Mu’tazilah, Tuhan wajib berbuat yang baik dan terbaik untuk manusia (al-shalah wa al-shalah). Sementara menurut al-Asy’ari, Tuhan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap manusia karena Tuhan Maha Kuasa dan tidak ada kekuasaan lagi diatasnya.
Al-Maturidi mempunyai pandangan berbeda dengan kedua pandangan tersebut. Al-Maturidi berpendapat bahwa Allah maka Suci dari berbuat secara main-main. Segala perbuatan-Nya senantiasa sesuai dengan kebijaksaan-Nya, dan karena dia Maha Bijaksana serta Maha Mengetahui sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat itu. Ketika menetukan hukum taklif dan melakukan segala perbuatan-Nya yang berkaitan dengan penciptaan, Allah menghendaki dan memaksudkan semua itu atas dasar hikmah tersebut. Dalam pada itu, tidak ada yang memaksa kehendak-Nya, karena Dia sepenuhnya bebas memilih, Maha Menghendaki dan Maha Mengerjakan apapun yang dikehendaki-Nya. Jadi berdasarkan hal itu tidaklah tepat dikatakan bahwa Allah berkewajiban melakukan yang baik dan terbaik, karena kewajiban itu menafikan kehendak, dan menandakan bahwa selain Allah ada yang berhak atas  diri-Nya. Padahal Allah berada diatas semuanya.
2.      Maturidiyah Bukhara
A.      Pendiri Maturidiyah Bukhara
Tokoh utama Maturidiyah Bukhara adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421 H dan meninggal pada tahun 493 H/1099 M di Bukhara. Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi. Al-Bazdawi sendiri mengetahui ajaran al-Maturidi dari orang tuanya.
Al-Bazdawi juga tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara kedua tokoh Maturidiyah ini terdapat perbedaan paham sehingga menjadi cabang tersendiri yang kemudian disebut Maturidiyah Bukhara karena berkembangan di Bukhara.
B.       Pandangan Teologi Maturidiyah Bukhara
a.        Fungsi Akal dan Wahyu
Al-Bazdawi sepaham dengan al-Maturidi dalam hal kemampuan akal manusia untuk mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Akan tetapi dia berpendapat bahwa sebelum datangnya wahyu tidak ada kewajiban untuk mengetahui Tuhan dan berterimakasih kepada-Nya, manusia juga tidak wajib untuk mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Kewajiban-kewajiban hanya ditentukan oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
b.        Sifat Tuhan
Al-Bazdawi tidak setuju dengan pandangan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, karena menghilangkan sifat Allah berarti meningkari pemiliknya. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memiliki sifat-sifat dan sifat-sifat Allah itu kekal tetapi dengan kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan, bukan dengan kekekalan sifat itu sendiri.
Berkenaan antropomorfisme, seperti “tangan Tuhan” dan “kursi Tuhan”, al-Bazdawi berpendapat bahwa “tangan Tuhan” itu adalah sifat dan bukan “anggota badan” Tuhan, yaitu sifat yang sama dengan sifat-sifat lain, seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Bahkan lebih jauh al-Bazdawi cenderung untuk mentakwirkan ayat-ayat yang mengandung pengertian antropomorfisme. Sebagai contoh ketika mengertikan ayat ke 54 dari surat al-A’raf;
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Ia mengatakan bahwa Allah itu menguasai seluruh alam.
c.         Perbuatan Manusia
Al-Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. Allah mewujudkannya dan manusia adalah pelakunya. Perbuatan manusia timbul dari dirinya dengan kebebasan dan kemampuan yang baru. Perbuatan manusia tersebut bukan perbuatan Allah. Perbuatan Allah hanyalah menjadikan dan mewujudkan. Sedang perbuatan manusia adalah melakukan, bukan mewujudkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. Jika diibaratkan  sebuah drama, manusia hanyalah bagaikan aktor yang harus memainkan sekenario yang telah diciptakan oleh sutradara.
d.        Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan
Pandangan Maturidiyah Bukhara menekankan berlakunya kehendak dan kekuasan mutlak Tuhan. Tuhan berbuat sekendak-Nya dan tidak ada satu laranganpun bagi Tuhan. Ia membuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak ada yang dapat menentang dan membatasi kehendak Tuhan, kendatipun pembatasan tersebut adalah kemauan Tuhan sendiri.
e.         Janji dan Ancaman Allah
Kaum Maturidiyah Bukhara dalam hal janji dan ancaman Tuhan tidak sepenuhnya sepaham dengan al-Asy’ari, namun juga tidak sepenuhnya sepaham dengan Maturidiyah Samarkand. Dalam pandangan Maturidiyah Bukhara ini, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.






BAB III

PENUTUP

Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari (lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafat di Baghdad 324 H/935 M). Doktrin-doktrin teologi al-Asy’ari yaitu menyangkut Tuhan dan sifat-Nya, Al-Qur’an, Perbuatan manusia, antropomorfisme, keadilan Tuhan, pelaku dosa besar dan juga tentang melihat Tuhan di akhirat.
Maturidiyah di dirikan oleh al-Maturidi, nama lengkapnya Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi. Ia lahir sekitar tahun 859 M di Maturid dekat Samarkand Wilayah Transoxiana Asia Tenggara dan meninggal pada tahun 944 M.Doktrin teologi Maturidiyah tentang fungsi akal dan wahyu, Tuhan dan sifat-Nya,  keqadiman Al-Qur’an, perbuatan dan kehendak Manusia, janji dan ancaman Allah, kekuasaan dan kehendak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan Tuhan dan tentang melihat Tuhan di akhirat.Sekte-sekte Maturidiyah, pertama adalah golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Yang mana ajarannya banyak dianut oleh umat Islam bermadzab Hanafi.
1.      Untuk Mahasiswa
Sebagai mahasiswa sikap bijak mempelajari dan memahami aliran ilmu kalam klasik ini tidak membuat diri menjadi orang yang fanatic terhadap perbedaan pandangan.
2.      Untuk Akademisi
Sebagai orang yang berpendidikan, tentunya pola fikir dan cara menanggapi dari perbedaan kedua aliran tersebut dengan mengambil sebuah kebenaran yang akurat dari berbagai sumber.yang dapatpertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978
 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II, Jakarta: UI press, 1988
M.Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990,


Subscribe to receive free email updates: