RABI'AH AL-ADAWIYAH
BIOGRAFI RABI’AH AL – ADAWIYAH
1. Kelahiran dan Masa Kecil
Suatu teori, pemikiran , ide atau ajaran seorang tokoh
dapat dikenali dan dipahami dengan baik, apabila diketahui latar belakang
kehidupannya. Oleh karena itu, sebelum memasuki pokok pembahasan lebih jauh,
perlu dikemukakan terlebih dahulu riwayat hidup Rabi’ah al-Adawiyah. Dengan
demikian, akan dapat diketahui keadaan yang melatar belakangi perjalanan hidup,
corak serta sistem pemikiran atau ajaran yang membawanya hingga tingkat cinta
terhadap Tuhan Yang Tercinta.
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia
diperkirakan lahir pada tahun 95 H / 713 M atau 99 H / 717 M di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H /
801 M. Tidak ada bukti otentik yang dapat menjelaskan waktu kelahirannya secara
pasti. Harun Nasution, M. Mastury dan Abudin Nata menyebutkan bahwa Rabi’ah
lahir pada tahun 714 M. Rabiah dilahirkan dalam keluarga yang miskin. Ayahnya
bernama Ismail. Konon keluarga Ismail hidup dengan penuh taqwa dan iman kepada
Allah SWT, tak henti-hentinya melakukan dzikir dan beribadah melaksanakan
ajaran-ajaran Islam.
Kondisi hidup dalam kemiskinan menyebabkan Ismail dan istrinya selalu berdo’a mohon dikarunia anak laki-laki, yang diharapkan dapat membantu mengurangi penderitaan yang dialami. Namun derita kemiskinannya semakin terasa, karena sampai lahir tiga anak semuanya perempuan. Oleh karena itu, Ismail benar-benar meningkatkan ibadahnya dan memohon agar janin yang dikandung istrinya, yang keempat adalah laki-laki. Allah SWT menghendaki lain. Manusia boleh berusaha, tetapi Allah lah yang menentukan segalanya. Anak keempat pun lahir perempuan. Itulah sebabnya , orang tuanya menamakannya Rabi’ah. Maka pupuslah harapan Ismail. Kemiskinan benar-benar menyelimutinya. Menyambut kelahiran Rabi’ah dengan derita, istri Ismail berkata kepada suaminya: “Kakanda tercinta, pergilah ke rumah sebelah. Mungkin mereka memiliki setetes minyak. Mungkin memiliki kain bekas yang pantas dihadiahkan kepada kita, tolong mintalah. Biar anak kita yang baru lahir bisa kita selimuti dengan sepotong kain”.
Keinginan istrinya itu dipenuhinya, namun tak seorang tetangga pun yang mau membukakan pintu untuk memberikan atau meminjamkan sepotong kain, maka Ismail menghibur istrinya: “Istriku, tetangga kita sedang tidur nyenyak. Bersyukurlah kepada Allah SWT, karena selama hayat kita belum pernah meminta-minta. Lebih baik selimuti saja anak kita dengan sepotong kain yang masih basah itu. Percayalah dan tawakallah kepada Allah SWT. Tentu Dia akan memberikan jalan keluar yang terbaik buat kita, dan hanya Dialah yang memelihara serta memberikan kecukupan kepada kita. Percayalah wahai istriku tercinta”. Kalimat-kalimat diatas, digunakan oleh Abdul Mun’im Qandil untuk menggambarkan bagaimana miskinnya keluarga Ismail saat Rabi’ah dilahirkan. Ismail menamakan Rabi’ah, karena ia adalah anak yang keempat. Sedangkan Adawiyah dilakobkan karena ia berasal dari bani Adawiyah. Istri dan ketiga anaknya tidak setuju dengan nama tersebut, yang dianggap aneh dan jelek, maka Ismail pun sangat sedih. Akan tetapi saat tidur, malam hari, Ismail bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berkata: “Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu akan menjadi seorang perempuan mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafa’atnya”.
Kondisi hidup dalam kemiskinan menyebabkan Ismail dan istrinya selalu berdo’a mohon dikarunia anak laki-laki, yang diharapkan dapat membantu mengurangi penderitaan yang dialami. Namun derita kemiskinannya semakin terasa, karena sampai lahir tiga anak semuanya perempuan. Oleh karena itu, Ismail benar-benar meningkatkan ibadahnya dan memohon agar janin yang dikandung istrinya, yang keempat adalah laki-laki. Allah SWT menghendaki lain. Manusia boleh berusaha, tetapi Allah lah yang menentukan segalanya. Anak keempat pun lahir perempuan. Itulah sebabnya , orang tuanya menamakannya Rabi’ah. Maka pupuslah harapan Ismail. Kemiskinan benar-benar menyelimutinya. Menyambut kelahiran Rabi’ah dengan derita, istri Ismail berkata kepada suaminya: “Kakanda tercinta, pergilah ke rumah sebelah. Mungkin mereka memiliki setetes minyak. Mungkin memiliki kain bekas yang pantas dihadiahkan kepada kita, tolong mintalah. Biar anak kita yang baru lahir bisa kita selimuti dengan sepotong kain”.
Keinginan istrinya itu dipenuhinya, namun tak seorang tetangga pun yang mau membukakan pintu untuk memberikan atau meminjamkan sepotong kain, maka Ismail menghibur istrinya: “Istriku, tetangga kita sedang tidur nyenyak. Bersyukurlah kepada Allah SWT, karena selama hayat kita belum pernah meminta-minta. Lebih baik selimuti saja anak kita dengan sepotong kain yang masih basah itu. Percayalah dan tawakallah kepada Allah SWT. Tentu Dia akan memberikan jalan keluar yang terbaik buat kita, dan hanya Dialah yang memelihara serta memberikan kecukupan kepada kita. Percayalah wahai istriku tercinta”. Kalimat-kalimat diatas, digunakan oleh Abdul Mun’im Qandil untuk menggambarkan bagaimana miskinnya keluarga Ismail saat Rabi’ah dilahirkan. Ismail menamakan Rabi’ah, karena ia adalah anak yang keempat. Sedangkan Adawiyah dilakobkan karena ia berasal dari bani Adawiyah. Istri dan ketiga anaknya tidak setuju dengan nama tersebut, yang dianggap aneh dan jelek, maka Ismail pun sangat sedih. Akan tetapi saat tidur, malam hari, Ismail bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berkata: “Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu akan menjadi seorang perempuan mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafa’atnya”.
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh ayah Rabi’ah untuk pergi
menemui Isa Zadan, Amir Basrah dengan menyiapkan sepucuk surat berisi pesan
Rasulullah SAW, seperti yang disampaikan dalam mimpinya. “Hai Amir, engkau
biasanya shalat 100 raka’at setiap malam. Dan setiap malam jum’at 400 raka’at,
tetapi pada hari jum’at yang terakhir, engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena
itu, hendaklah engkau membayar 400 dinar kepada yang membawa surat ini sebagai
kifarat atas kelalaian itu”. Pada pagi hari, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat
seperti yang dipesankan oleh Rasulullah SAW dan pergi ke istana Amir.
Dikarenakan tidak dapat langsung menemui Amir, surat itu
diserahkan kepada pengawal istana, yang langsung pergi menghadap. Ketika Amir
membaca surat dari ayah Rabi’ah, ia segera memerintahkan untuk segera
menyerahkan 400 dinar. Namun ia segera membatalkan perintahnya seraya berkata:
“Biarlah saya sendiri yang mengantarkan uang ini, sebagai penghormatan terhadap
orang yang mengirim pesan ini, dan saya akan mengawasi anaknya yang mulia ini”.
Dengan peristiwa tersebut, maka berubahlah persepsi Ismail dan istrinya
terhadap anak perempuannya yang keempat. Kemudian mereka menyambut kehadiran
Rabi’ah dengan bahagia.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan Rabi’ah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada gadis kecil seusianya. Oleh karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari kepapaan dan penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Kendati demikian hal itu tidak mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabi’ah terhadap Allah SWT. Dalam kehidupan sehari-harihari, ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah SWT sesuai dengan yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan Rabi’ah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada gadis kecil seusianya. Oleh karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari kepapaan dan penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Kendati demikian hal itu tidak mengurangi ketakwaan dan pengabdian keluarga Rabi’ah terhadap Allah SWT. Dalam kehidupan sehari-harihari, ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah SWT sesuai dengan yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya.
Pernah Rabi’ah mendengar ayahnya berdo’a memohon kepada
Allah SWT dan semenjak itu , lafal-lafal do’a itu tidak pernah hilang dari
ingatannya, selalu diulang-ulang dalam doa’nya Dengan akhlaq yang mulia, tidak
jarang Rabi’ah membangkitkan rasa kagum ayahnya. Ia tidak pernah mencaci orang
atau menyakiti perasaan manusia. Pernah pada suatu hari, ketika seluruh anggota
keluarga telah duduk disekitar meja makan, kecuali Rabi’ah. Diceritakan oleh
Muhammad Atiyah Khamis sebagai berikut: Ia masih berdiri memandang ayahnya,
seolah minta penjelasan dari ayahnya mengenai makanan yang terhidang.
Dikarenakan ayahnya masih berdiam diri, Rabi’ah berkata:
“Ayah, aku tidak ingin ayah menyediakan makanan yang tidak halal. Dengan
keheranan ayahnya menatap muka puterinya yang masih kecil itu yang telah
memperhatikan iman yang kuat. Ayahnya menjawab: “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu
jika tiada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram ? … “Rabi’ah
menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita
menahannya kelak di akhirat dalam api neraka”.
Saat masih kecil, Rabi’ah adalah gadis yang salihah. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal. Ia menjadi anak yatim piatu, yang tidak mewarisi harta benda dari orang tuanya. Kakaknya belum dewasa. Dalam usia yang masih muda belia, Rabi’ah dan kakak-kakaknya harus mencari pekerjaan untuk hidup. Satu-satunya peninggalan orang tuanya, yang agak berarti adalah sebuah perahu kecil, yang dipakai ayahnya untuk mencari nafkah. Rabi’ah melanjutkan pekerjaan ayahnya, menyeberangkan orang di sungai Dajlah. Menurut cerita, Rabi’ah yang paling siap mental maupun fisiknya untuk hidup sendiri, dibandingkan ketiga kakaknya. Ia sering menangis karena teringat kedua orang tuanya. Namun ia juga tak jarang menangis tanpa sebab yang ia ketahui. Pernah suatu sore, sepulang dari sungai, Rabi’ah menangis tersedu-sedu lalu kakaknya ‘Abdah menegurnya: ”Apa yang sedang engkau sedihkan Rabi’ah ?” “Tak tahulah aku, namun aku merasa sedih sekali”. Jawabnya dan Rabi’ah terus saja menangis. Disela-sela isaknya ia berkata: “Aku merasakan suatu kesedian yang aneh sekali. Tak tahulah aku sebabnya. Seoalah-olah ada suatu jeritan di lubuk hatiku, yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat didalam pendengaranku tak dapat aku hadapi, kecuali dengan mengucurkan air mataku”.
Setelah peristiwa tersebut, Rabi’ah selalu mimpi pada malam hari, berulang-ulang dengan mimpi yang sama. Dalam mimpi itu, Rabi’ah melihat cahaya yang amat terang, yang akhirnya menyatu dalam tubuh dan jiwanya. Setelah beberapa malam mimpi itu hadir dalam tidurnya, maka pada suatu siang hari, saat Rabi’ah berada sendirian diatas perahunya, nyatalah mimpi itu. Rabi’ah menatap cakrawala, tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat merdu:
“Lebih indah dari senandung serunai yang merdu di kegelapan malam terdengar baca’an Al-Qur’an. Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya. Suara yang merdu membangkitkan keharuan, dan air mata pun bercucuran. Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu sedang hatinya penuh cinta Ilahi, Ia berkata, Tuhanku, Tuhanku, Ibadah kepada-Mu meringankan deritaku. Rabi’ah segera beranjak pulang dan ingin segera tidur, karena sudah mengantuk. Akan tetapi ada kejadian yang mengejutkannya lagi. Tempat tidurnya diselimuti cahaya, yang menyenandungkan kalimat yang pernah didengarnya dan memanggil Rabi’ah: “Hai Rabi’ah, belum datangkah saatnya engkau kembali kepada Tuhanmu? ... Ia telah memilihmu, menghadaplah kepadanya”. Peristiwa-peristiwa tersebut mengantarkan Rabi’ah kepada kehidupan yang penuh dengan ibadah kepada Allah SWT. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya ia telah hafal al-Qur’an dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.
Saat masih kecil, Rabi’ah adalah gadis yang salihah. Apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal. Ia menjadi anak yatim piatu, yang tidak mewarisi harta benda dari orang tuanya. Kakaknya belum dewasa. Dalam usia yang masih muda belia, Rabi’ah dan kakak-kakaknya harus mencari pekerjaan untuk hidup. Satu-satunya peninggalan orang tuanya, yang agak berarti adalah sebuah perahu kecil, yang dipakai ayahnya untuk mencari nafkah. Rabi’ah melanjutkan pekerjaan ayahnya, menyeberangkan orang di sungai Dajlah. Menurut cerita, Rabi’ah yang paling siap mental maupun fisiknya untuk hidup sendiri, dibandingkan ketiga kakaknya. Ia sering menangis karena teringat kedua orang tuanya. Namun ia juga tak jarang menangis tanpa sebab yang ia ketahui. Pernah suatu sore, sepulang dari sungai, Rabi’ah menangis tersedu-sedu lalu kakaknya ‘Abdah menegurnya: ”Apa yang sedang engkau sedihkan Rabi’ah ?” “Tak tahulah aku, namun aku merasa sedih sekali”. Jawabnya dan Rabi’ah terus saja menangis. Disela-sela isaknya ia berkata: “Aku merasakan suatu kesedian yang aneh sekali. Tak tahulah aku sebabnya. Seoalah-olah ada suatu jeritan di lubuk hatiku, yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat didalam pendengaranku tak dapat aku hadapi, kecuali dengan mengucurkan air mataku”.
Setelah peristiwa tersebut, Rabi’ah selalu mimpi pada malam hari, berulang-ulang dengan mimpi yang sama. Dalam mimpi itu, Rabi’ah melihat cahaya yang amat terang, yang akhirnya menyatu dalam tubuh dan jiwanya. Setelah beberapa malam mimpi itu hadir dalam tidurnya, maka pada suatu siang hari, saat Rabi’ah berada sendirian diatas perahunya, nyatalah mimpi itu. Rabi’ah menatap cakrawala, tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat merdu:
“Lebih indah dari senandung serunai yang merdu di kegelapan malam terdengar baca’an Al-Qur’an. Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya. Suara yang merdu membangkitkan keharuan, dan air mata pun bercucuran. Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu sedang hatinya penuh cinta Ilahi, Ia berkata, Tuhanku, Tuhanku, Ibadah kepada-Mu meringankan deritaku. Rabi’ah segera beranjak pulang dan ingin segera tidur, karena sudah mengantuk. Akan tetapi ada kejadian yang mengejutkannya lagi. Tempat tidurnya diselimuti cahaya, yang menyenandungkan kalimat yang pernah didengarnya dan memanggil Rabi’ah: “Hai Rabi’ah, belum datangkah saatnya engkau kembali kepada Tuhanmu? ... Ia telah memilihmu, menghadaplah kepadanya”. Peristiwa-peristiwa tersebut mengantarkan Rabi’ah kepada kehidupan yang penuh dengan ibadah kepada Allah SWT. Diceritakan, bahwa sejak masa kanak-kanaknya ia telah hafal al-Qur’an dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana.
2. Menjadi Budak
Konon pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia
dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah.
Derita Rabi’ah, gadis yatim piatu itu semakin bertambah ketika kota Bashrah
dilanda musibah kekeringan dan kelaparan. Banyak penduduk miskin meninggal
kelaparan, termasuk ketiga kakak Rabi’ah yang lemah, yang membuat ia menjadi
gadis sebatang kara. Musibah itu mengakibatkan merajalelanya berbagai bentuk
kejahatan dan perbudakan. Keberadaan Rabi’ah diketahui oleh orang jahat. Ia
dijadikan budak dan dijual seharga enam dirham. Orang yang membeli Rabi’ah
menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah mencoba mencoba melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir, sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil menundukkan mukanya ke tanah, “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendakMu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.
“Rabi’ah, janganlah engkau berduka,” sebuah suara berkata kepadanya, “esok lusa engkau akan dimuliakan, sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu”. Kemudian Rabi’ah pulang ke rumah tuannya dan merawat cedera tangannya hingga sembuh. Kurang jelas berapa lama Rabi’ah menjadi budak.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan seseorang yang tak dikenal datang menghampirinya. Rabi’ah mencoba mencoba melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir, sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil menundukkan mukanya ke tanah, “Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini tidak mempunyai ayah bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah dapat memenuhi kehendakMu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau tidak.
“Rabi’ah, janganlah engkau berduka,” sebuah suara berkata kepadanya, “esok lusa engkau akan dimuliakan, sehingga malaikat-malaikat iri kepadamu”. Kemudian Rabi’ah pulang ke rumah tuannya dan merawat cedera tangannya hingga sembuh. Kurang jelas berapa lama Rabi’ah menjadi budak.
3. Setelah Merdeka
Dari sini ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah.
Pada suatu malam, Rabi’ah bersujud dan memanjatkan do’a. Tuannya yang kebetulan
terjaga dari tidur melihat dan mendengarnya do’a tersebut. “Ya Allah, Engkau
tahu bahwa hasrat hatiku adalah dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi
kepada-Mu, tetapi Engkau telah menyerahkan diriku dibawah kekuasaan seorang
hamba-Mu dan pada saat ia beribadah ada cahaya yang memancar diatas kepala
Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah. Oleh karana tuannya melihat
sendiri peristiwa itu, maka saat hari mulai terang, ia memanggil Rabi’ah dan
bersikap lembut kepadanya. Rabi’ah dibebaskan dan diizinkan pergi untuk
meninggalkannya. Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri
menjalani kehidupan sebagai seorang Zahidah dan Sufiah. Ia menjalani sisa
hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT
sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang lain
kepadanya. Bahkan dalam do’anya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi
dari Tuhan.
4. Perawan Seumur Hidup
Rabi’ah al-Adawiyah telah dewasa dalam pertapaan dan
tidak pernah berpikir untuk berumah tangga. Bahkan akhirnya memilih hidup
zuhud, menyendiri, beribadah kepada Allah SWT. Ia tak pernah menikah karena tak
ingin perjalanannya menuju Tuhan mendapat rintangan. Perkawinan baginya adalah
rintangan. Ia pernah memanjatkan do’a: “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari
segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu dan dari segala penghalang
yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu. Prinsip Rabi’ah untuk tidak menikah
tersebut dapat dipertahankan hingga akhir hayatnya.
AJARAN TASAWUF
RABI’AH AL – ADAWIYAH
Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisme dalam
Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah
SWT. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam
berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang
pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah
Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bermunajat. Rabi’ah menyatakan do’anya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang
mencinntai-Mu oleh api neraka? “ Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan
melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Diantara sya’ir
cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah: “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaan
senantiasa mengingatkan-Mu, Cinta karena diri-Mu adalah keadaanku mengungkapkan
tabir sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupun itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.”
BACA JUGA : HASAN AL-BASHRY
Untuk memperjelas pengertian Al-hub yang diajukan
Rabi’ah, yaitu hub Al-hawa dan hub anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran
beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana
dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna hubb Al-hawa adalah rasa
cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Adapun
yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat material, tidak spiritual, karenanya
hubb disini bersifat hubb indrawi. Walaupun demikian, hubb Al-hawa yang
diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-rubah, tidak bertambah dan berkurang karena
bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini karena Rabi’ah tidak memandang
nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik nikmat tersebut. Adapun
Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi,
tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan
balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena
perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan
ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut: “Mungkin yang dimaksud oleh Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah
cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan
cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya
yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur
dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti
disabdakan dalam hadis qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan
apa yang tidak terlihat mata, tidak terlihat telinga, dan tidak terbesit di
kalbu manusia”.
Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu
mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama
Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya:
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu.
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama
selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku”.
Bagi manusia yang rasa cintanya kepada
Allah SWT tidak secara tulus ikhlas, Rabi’ah selalu mengatakan:
“Dalam
batin, kepada-Nya engkau durhaka, tetapi dalam lahir kau nyatakan cinta.
Sungguh aneh segala ini. Andaikan cinta-Mu memang tulus dan sejati tentu yang
Ia perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu patuh dan bakti pada yang
dicintai.
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerap kali menyampaikan, “Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu”.
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerap kali menyampaikan, “Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu”.
Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah
berkata: “Tuhanku, malam telah
berlalu dan siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku
Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku
merasa bersedih. Demi kemaha kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama
Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak
akan pergi karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”
Ajaran
yang terpenting dari sufi wanita ini. adalah al-mahabbah dan bahkan menurut
banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb dengan isi
dan pengertian yang khas tasawuf hal ini barangkali ada kaitannya dengan
kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa estetika
yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu. Cinta murni
kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang pada umumnya
dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari syair berikut
ini dapat ditangkap apa yang ia maksud dengan al-mahabbah:.
“Kasihku, hanya Engkau yang kucinta,
Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu, Walau mata jasadku tak mampu
melihat Engkau, Namun mata hatiku memandangmu selalu.”
Cinta
Kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya sehingga ia tidak bersedia
membagi cintanya untuk yang lainnya. Rabi’ah berkata:.
“Cintaku kepada Allah telah menutup hatiku untuk mencintai selain Dia.”
Bahkan
sewaktu ia ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad SAW, ia menjawab:
“Sebenarnya saya sangat mencintai
Rasulullah SAW, tetapi kecintaanku kepada Khaliq telah melupakanku untuk
mencintai siapa saja selain Dia.”
Pernyataan ini ia pertegas lagi melalui syair berikut ini dan sekaligus memperjelas makna al-hubb itu sendiri:
“Daku tenggelam dalam merenung kekasih
jiwa, sirna segalanya selain Dia, Karena kekasih, sirna rasa benci dan murka.”
Suatu
hari Rabi’ah ditanya orang, apakah ia mencintai Allah dan ia jawab, ya memang
saya mencintai-Nya. Kemudian ia ditanya lagi, apakah ia benci terhadap setan.
Rabi’ah mengatakan, karena cintaku kepada Allah SWT telah menyebabkan aku tidak
mempunyai kesempatan untuk membenci setan. Menurut Rabi’ah, pecinta yang
sesungguhnya harus selalu berusaha mendekatkan diri kepada yang dicintai serta
harus selalu dapat mengisi hatinya. Ia menyatakan:
“Dalam relung hatiku Engkau teman
berbincangku, Walau ragawi aku berbincang dengan sejawatku, Dengan mereka aku
bersenda gurau selalu.”
Dengan
dan melalui al-hubb ia ingin memandang wajah Tuhan yang selalu ia rindu, ingin dibukakan
tabir yang memisah dirinya denga Tuhan.
AL-MAHABBAH DAN
AL-MA’RIFAH
Seperti
telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi adalah memperoleh
hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan disadari berada di
hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini sebagai kenikmatan dan
kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi dalam mengartikan hadirat Tuhan itu,
ternyata terdapat perbedaan konseptual, perbedaan ini bersumber dari
ketidaksamaan mereka mengenai hakekat tuhan dan manusi. Sebagian sufi
berpendapat bahwa Allah SWT adalah puncak Kecantikan dan Kesempurnaan,
sementara yang lain menyatakan sebagai iradah, Nurul Anwar dan juga disebut
Ilmu atau Ma’rifah. Di pihak lain diyakini bahwa minisis dan alam ini adalah
mazhohir atau radiasi dari hakikat Tuhan, jiwa atau roh manusia adalah pancaran
dari Nurul Anwar.
BACA JUGA: SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAELANI
Untuk bisa mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucian jiwa atau purgativa (takhalli) dan berlanjut kepada kontemplativa (tahalli) yang berujung ketingkat illuminativa (tajalli). Ketiga proses ini harus diisi dengan melalui stasiun-stasiun atau al-maqomat. Keseluruhan rangkaian al-maqamat itu adalah latihan olah kerohanian melalui serangkaian amal ibadah yang ketat dan khas sufi. Oleh karena itu tipe tasawuf semacam itu digolongkan kepada tasawuf amali. Untuk melakukan usaha yang berat itu, seseorang harus dilandasi rasa cinta kepada Allah SWT dalam arti yang sesungguhnya.
Al-Hubb atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan dengan ma’rifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut ma’rifat. Al-hubb mengandung pengertian terpadunya seluruh kecintaan hanya kepada Allah SWT yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah, sebagiamana disenandungkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah (w.185) dalam syairnya:
“Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu karena
takut neraka, campakkanlah aku kesana. Andaikata aku mengabdi-Mu hanya karena
mengejar surga-Mu jangan beri aku surga. Tapi wahai Tuhanku, bila ternyata aku
menyembah-Mu hanya karena kasihku pada-Mu, janganlah tutup wajah-Mu dari
pandanganku.”
Kondisi
kecintaan yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai dengan melalui proses
perjalanan panjang dan berat (riyadhoh dan mujahadah) sehingga pengenalannya
kepada Allah SWT menjadi sangat jelas dan pasti. Yang dihayati dan dirasakan
bukan lagi cinta tetapi diri yang dicinta. Oleh karena itu menurut al-Ghazali,
mahabbah itu adalah pintu gerbang mencapai ma’rifat kepada Tuhan. Paham al-Hubb
atau mahabbah buat pertama kali diperkenalkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Menurut
Rabi’ah, al-Hubb itu adalah rindu dan pasrah kepada Allah SWT. Seluruh ingatan
dan perasaan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapannya
yang ia cetuskan melalui gubahan kata yang indah, antara lain:
.
“Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang dapat melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang gemerlapan, orang-orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat, yang saling mencintai telah asyik berduaan, sedangkan aku kini bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku, malam kini telah berlalu, siang akan segera menyusul, aku gelisah gunda-gulana, apakah amalku Engkau terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yang akan membuatku nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus mengabdi pada-Mu selama hayatku. Seandainya Engkau usir aku dari ambang pintu-Mu aku tak akan beranjak karena cintaku pada-Mu telah membelenggu jiwaku.”
“Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang dapat melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang gemerlapan, orang-orang pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat, yang saling mencintai telah asyik berduaan, sedangkan aku kini bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku, malam kini telah berlalu, siang akan segera menyusul, aku gelisah gunda-gulana, apakah amalku Engkau terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yang akan membuatku nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus mengabdi pada-Mu selama hayatku. Seandainya Engkau usir aku dari ambang pintu-Mu aku tak akan beranjak karena cintaku pada-Mu telah membelenggu jiwaku.”
Demikianlah ungkapan cinta Rabi’ah kepad Allah SWT yang telah merasuk sukmanya sehingga segala aktivitasnya tertuju hanya kepadaNya. Selanjutnya ia bersenandung:.
“Kasihku, hanya Engkau harap dambaku.
Alirkan karunia-Mu bagiku yang bernoda, kaulah harapanku, kedamaianku,
kebahagiaanku, hatiku hanya pada-Mu semata.”
Bagi
Rabi’ah, rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi dalam setiap
prilakunya dan sekaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah SWT.
Nampaknya bagi Rabi’ah ada dua macam cinta seperti ia katakan:.
“Aku mencintaim-Mu dengan dua dorongan
cinta, kucintai Engkau lantaran aku cinta dan rindu dan aku cinta karena Engkau
patut dicintai. Adapun cinta rindu, karena hanya Engkau kukenang selalu bukan
selain-Mu. Adapun cinta karena Engkau layak dicinta, karena Engkau sibakkan
tabir penutup tatapan sembahku sehingga Engkau nyata bagiku. Bagiku tentang
ini, itu tidak ada puji, namun bagi-Mu sendiri segala puji.”
Menurut
Rabi’ah al-Adawiyah, tujuan satu-satunya yang wajar dan sewajarnya dicintai
ialah Allah SWT. Agar dapat sampai kepadanya, seorang sufi harus lebih dahulu
mendidik dirinya supaya mencintai segala keindahan alam ini, merenungkannya dan
meresapkannya secara mendalam. Sebab, keindahan dan kecantikan itu adalah
ciri-ciri dari Dzat yang dicintai, sehingga Ma’ruf al-Kharki berpendapat, bahwa
cinta tidak bisa dipelajari dari manusia, cinta adalah anugerah dan rahmat
Allah SWT. Cinta manusia kepada keindahan adalah disukai Allah SWT, karena Ia
sendiri adalah sumber asasi dari segala keindahan.
Seorang
sufi tidak berhenti sampai disitu saja, tatapi dia akan berlanjut terus
mendekat atau bersatu dengan yang dicintainya. Dalam menuju kesana itu, ia
melalui tingkat yang aneka ragam sambil menjauhkan dirinya dari segala macam
kejahatan. Seorang sufi harus menjadikan dirinya seorang yang bermoral mulia
dan suci, keadaan ini akan mengantarkannya kepada keindahan yang sempurna.
Sifat-sifat yang ada pada dirinya akan berangsur-angsur hilang dan akan
terbukalah tabir yang mengitarinya dengan Tuhan sehingga tercapai ma’rifat dan
terbukalah jalan untuk ittihad. Berdasarkan alasan itu, Ibn al-Faridh tidak
membedakan antara al-Hubb dan ma’rifat. Menurutnya, pelepasan diri dari
pengaruh rasio sehingga hati dapat leluasa untuk bekerja sendiri berdasarkan
iradat Allah SWT. Hal ini berarti, bahwa cinta itu bukan bersumber dari hati
atau akal, tetapi cinta adalah sesuatu yang samawi dan sangat suci.
REFERENSI
0 Response to "RABI'AH AL-ADAWIYAH"
Post a Comment