IMAM AHMAD BIN HAMBAL



BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN HAMBAL

Imam Ahmad bin Hambal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih dikenal dengan nama Imam Hambali karena menjadi pendiri madzhab Hambali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qosit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin As’ad bin Rabi’al Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar ini tampaknya Imam Ahmad bertemu dengan keluarga nenek moyangnya nabi Muhammad SAW.
Di antara murid-murid Imam Ahmad adalah Ibnu Taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhori, Muslim, Abu Daud, Abu Zuhrah al-Damsyiqi, Abu Zuhrah al-Razi, Ibnu Abi al-Dunya, Abu Bakar al-Asram, Hambal bin Ishaq al-Syaibani, Shalih, dan Abdullah. Kedua nama yang disebutkan terakhir merupakan putranya.

PEMIKIRAN TEOLOGI

1. Tentang Ayat Mutasyabihat

Ayat Mutasyabihat yakni ayat dengan makna samar, ambigu atau memiliki makna lain, yang membutuhkan penafsiran menggunakan ayat lain atau hadits penjelas.


Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, Imam Ahmad bin Hambal lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan takwil, terutama yang berkaitan dengan sifat-saifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat: “Tuhan yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.”(Q.s. Thaha: 50). Dalam hal ini Ibn Hanbal menjawab “Bersemayam diatas arasy terserah pada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya”.

Dan ketika ditanya tentang makna hadist nuzul (Tuhan turun kelangit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan diakhirat), dan hadist tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab: “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan memaknainya”

Dari pernyataan diatas, tampak bahwa Ibn hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya, Ia sama sekali tidak mena’wilkan pengertian lahirnya.

2. Status Al-Qur'an


Imam Ahmad bukanlah seorang Mu’tazilah. Perlu kita ketahui bahwa Imam Ahmad hidup di masa Daulah Abasiyyah dengan khalifah Al-Ma’mun yang berfaham mu’tazilah. Imam Ahmad menolak konsep Al-Quran adalah makhluq (huduts/baru), beliau hanya menjawab bahwa Al-Qur’an adalah Kalamulah. Kaum mu’tazilah menganggap jawaban Imam Ahmad itu menunjukan bahwa Imam Ahmad mengakui bahwa Al-Qur’an itu qadim. Sedang faham adanya qadim (lelawanan huduts) disamping Tuhan, menurut Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan, Sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.

Ibn Hanbal tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Itu dapat dilihat dari salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq bin Ibrahim, gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal. Ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan rasul-Nya.

Dari sini jelaslah bahwa Imam Ahmad bin Hambal menolak akan pemahaman mu'tazilah. Timbulan pertanyaan bahwa siapakah yang benar antara Mu'tazilah dan Imam Ahmad? 

Mungkin jawaban mana yang benar antara Imam Ahmad dan Mu'tazilah dapat kita temui saat para tokoh tersebut sudah wafat; Imam Ahmad merupakan tokoh besar Islam dan di akui sebagai Imam Madzhab (Madzahibul Arba'ah) yang mana kontribusi Imam Ahmad selama hidupnya dulu sampai sekarang sangatlah di rasa memberikan kemashlahatan. Kalaulah memang Imam Ahmad itu menyesatkan umat, mana mungkin Madzhab Hanabilah bisa bertahan sampai sekarang. Sedang Mu'tazilah bagaimana nasib  para pengikutnya sekarang ? apakah sebanyak para pengikut Imam Ahmad ?

Subscribe to receive free email updates: