ABU YAZID AL-BUSTHAMY
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan
al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya
adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster,
kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk
berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak
dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya
berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya
muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid
yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti
kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat
Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua
orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian
berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan
bahwa ia selalu berusaha memenuhis setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu
puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang
terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan
ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan
dalam buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun,
Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan,
dan minum yang sedikit sekali.
Abu Yazid Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau
adalah salah seorang Sultan Aulia, yang merupakan salah satu Syech yang ada di
silsilah dalam thariqah Sadziliyah, Thariqah Suhrawardiyah dan beberapa thariqah
lain.
Pengertian
Syatahat
Secara kebahasan perkatan syathahat berasal
dari kata kerja syathaha yang berarti taharraka,
yakni gerak atau tergerak. Syathahat dalam bahasa Arab
berarti gerak, yakni gerak yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi
kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya. Syathahat menurut
kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama
kali memasuki gerbang ilahi. Menurut Prof DR Abdurrahman Badawi, ada beberapa
kondisi emosi dan spiritual para sufi yang mendorong syathahat:
1. emosi dan
spiritual yang sangat begejolak.
2. pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad.
3. Sufi yang mengalami syathahat dalam
keadaan sakr (mabuk).
4. di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.
5. Semuanya berjalan dalam keadaan Sufi tidak menyadari perasaannya
Adapun pengalaman syathahat seperti yang
dialami oleh Abu Yazid al-Busthami yang terkenal dengan ucapan-ucapannya yang
nyeleneh (syathhiyyat atau syathahat) yaitu subhani (tak
berarti lain kecuali subhanallah) karena ia telah mengalami
keluruhan diri kemanusiaannya (fana) dan baqa. Dan contoh
dari syathahat adalah seperti yang dialami olehnya.
Beberapa pemikir Islam kontemporer telah berhasil
mengumpulkan celotehan mistis (syathahat al-shafiyyah)
versi Abu Yazid al-Basthami, di antaranya ‘Abd al-Rahman al-Badawi dan Qasim
Muhammad Abbas. Celotehan mistisnya hampir senada dengan
al-Hallaj. Karena itu, keduanya dikelompokkan pada golongan sufi yang mengusung
ide pantheistik dan menyorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari
batas-batas logisnya. Pada suatu kesempatan al-Basthami berceloteh, Mahasuci
diriku, maha agung diriku! Qasim Muhammad Abbas dalam buku, Abu Yasid
al-Bustami; al-Majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah, mengatakan bahwa,
Semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan dengan tegas konsep
tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan. Ia mengatakan bahwa, Apa
pun pendapat Abu Yazid semuanya dapat dijelaskan dengan penuh keberanian.
Seeprti ia mengatakan ”maha suci diriku, Yang Maha Agung jadilah diriku, betapa
besar keagunganku” . Dan paling menonjol lagi ”aku adalah Tuhan yang
paling tinggi”. Sekarang subhani, Yang Agung jadilah aku, terkesan
menghina Tuhan bagi pendengaran orang-orang Muslim.
BACA JUGA : SUFYAN TSAURI
Abdul al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi kenamaan Mesir,
menyadari betul bahwa ujaran aforisma sufistik (syath) tidak bisa
didekati secara gegabah dan literalis. Bahasa aforisma tidak muncul dari bahasa
yang terkonsepsikan dan tersekematisasikan. Ia adalah anti-tesa dari berpikir
identitas. Namun ia adalah bahasa yang hadir meski sejenak untuk mewakili
bahasa pengalaman spiritual, yang pada tataran yang lebih dalam, tidak bisa
diwakili sepenuhnya. Menjangkau fenomena atau cakrawala yang selalu menjauh,
tapi ia hadir di dalam dan bersama diri kita. Karena itu, Abdul al-Wahab
al-Syarani menyikapi bahasa aforisma al-Bastami dan para sufi yang lain dengan
sebuah takwil. Al-Syarani relatif berhasil dengan takwilnya membuktikan bahwa
ujaran-ujaran para sufi, sejenis al-Bustami, tidak keluar dari koredor dan
nilai-nilai Syariah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Salah satu takwilnya
adalah ketika ia mentakwil ucapan subhany ”maha suci diriku”
Dan sungguh Abu Yazid Ra., pada satu kesempatan, telah
berkata: subhanallah (maha suci Allah). Tiba-tiba, suara
tanpa rupa dari lidah al-Haq berkata: apakah diriku ada aib (cacat)
dan kekurangan, sehingga kamu mensucikan diriku darinya? Abu Yazid
berkata: tidak, wahai Tuhan. Al-Haq berkata: maka sucikanlah dirimu sendiri.
Abu Yazid berkata: diriku telah menerima latihan spiritual (riadlah)
sampai bersih dari kekurangan, kemudian kala itu aku berkata: (maha suci
diriku).
Abu Yazid al-Bastami mengucapkan (maha suci diriku) dalam
konteks pembersihan dan penyucian diri dari kekurangan dan caat sebagaimana
lumrahnya manusia sebagai tempatnya kesalahan dan kelalaian, bukan dalam
konteks dimana ia mensakralkan dirinya sejajar dengan Tuhan.
Berikut penulis kutipkan sebagian pendapat al-Basthami, yang
telah dikutip Reynold A. Nicholson dari buku klasik Hilyat al-Auliya’;
Makhluk adalah subyek dari perubahan keadaan. Tetapi kaum Gnostik tidak
memiliki keadaan, karena sisa-sisa tanda kehadirannya ikut musnah, dan esensi
dirinya pun lenyap oleh esensi orang lain, bekas-bekas dirinya pun musnah dalam
jejak orang lain.
Sudah tiga puluh tahun al-haq (Tuhan) kujadikan
cerminku. Dan kini aku menjadi cermin bagi diriku sendiri. Aku adalah aku, dan
tidak lebih, sehingga kehadiran ‘Aku dan Tuhan’ hanya akan merusakkan kesatuan
(keesaan) Tuhan. Karena itu cukup dengan aku saja, maka al-Haq yang
tinggi adalah cermin-Nya. Bahkan lihatlah! al-Haq menjadi
cerminku, karena dia berbicara dengan lidahku, sementara aku telah fana.
Pokok-Pokok
Ajaran Tasawuf al-Bustami
1. Fana dan Baqa’
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan
baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari
kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah
tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang
luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/988 M) mendefinisikannya
: “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala
kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan
sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika
berbuat sesuatu. Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai
setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana
dijelaskan : “Permulan adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung
yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah. (Tetap
dan kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun
lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juga kali. Maka
senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka
kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat” (lalu beliau terangkan apa yang dilihatnya
pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya.Akhirnya beliau
berkata : “Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya : sama sekali itu
hanyalah tipuan khayalan belaka”.
Kata-kata yang demikian dinamai oleh syatahat, artinya
kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. Pada
suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepada-Nya; Tuhanku,
apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ? Tuhan menjawab: “Tinggalkanlah dirimu dan
datanglah”. Peninggalan Abu Yazid adalah menghilangkan kesadaran akan dirinya
dan alam sekitarnya untuk dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses ini disebut
juga dengan at-Tajrid atau al-fana’ bittauhid.
Ucapan-ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah
mencapai al-fana’ antara lain : “Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga
aku hancur (fanait(u), kemudian aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku
hidup (hayait(u).
Kehancuran (fana’) dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk
pengenalan (Al-Ma’rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.
Di samping itu, Abu Yazid pernah berkata “Pada suatu
ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata, Abu Yazid,
makhluk-Ku ingin melihat engkau. Aku menjawab,
kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi
jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya
menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu
melihat aku, mereka akan berkata, telah kami
lihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya
adalah Engkau, karena ketika itu aku tak ada di sana.”
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia
dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid
ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap
meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari
kata-katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.” Permintaan
Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan
terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari
kata-kata berikut ini, “Abu Yazid, semuanya
kecuali engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau,
Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam
ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).
Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan
dalam ungkapan selanjutnya, “Dialog pun terputus, kata
menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun
berkata kepadaku, “Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya
“Hai Aku.” Ia berkata kepadaku, “Engkaulah Yang
Satu.” Aku menjawab, “Akulah Yang Satu.” Ia
berkata lagi, “Engkau adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah
Aku.”
Yang penting diperhatikan dalam
ungkapan diatas adalah kata-kata Abu Yazid “Aku menjawab melalui
diriNya” (Fa qultu bihi). Kata-kata bihi -melalui
diri-Nya- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan
Tuhan, rohnya telah melebur dalam diri
Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka
yang mengatakan “Hai Aku Yang Satu” bukan Abu Yazid, tetapi
Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa inilah harus
diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika
berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang
pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia
adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh,
mengeluarkan kata-kata, “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha
Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka
sembahlah Aku.”
Dalam istilah sufi, kata-kata
tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa
ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa
terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah
ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah
bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat.
Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu
Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam
pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu
Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya
Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan,
“Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang
Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah.” Yang
mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,
tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa
ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang
diucapkan melalui lidah Abu Yazid.
Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti
dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti
mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak
dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan
paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu
juga ia sedang menjalani baqa’.
2. Ittihad
Ittihad adalah tahapan
selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana
dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang
ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah
ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik
untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian
tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan
orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu
dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi
maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas
telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak
mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.
Al-Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan
ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan. Pengalaman
kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya
dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia
berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab:
“Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku
tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika
makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu.
Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.
BACA JUGA: JUNAID AL-BAGHDADY
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid antara lain
Bustami. Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai
ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah
bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia
menjawab, “Tiga tahun,” sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh
tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai
ke stasiun ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu
mengalami fana’ dan baqa’. Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur sedangkan
baqa’ berarti tinggal. Sesuatu didalam diri sufi akan fana atau hancur dan
sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan,
orang yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang
yang fana dari maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan
demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari
diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan
akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat
akan timbul takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami
al-fana’ ‘an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan
hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan
kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana’ ‘an
al-nafs wa al-baqa, bi ‘l-Lah, dengan arti kesadaran tentang diri sendiri
hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad,
persatuan atau manunggal dengan Tuhan.
Jadi fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang
sufi,ketika ia tentang diri dan lingkunganya lenyap. Sedangkan baqo`adalah
keadaan spiritual seorang sufi ketika hijab antara diriny dengan Allah
tersingkap.dan disini terjadi apa yang di namakan dengan mukasyafah
(menyaksikan keagungan Allah), musyahadah (mengenalnya secara langsung),
ma`rifah (terpesona oleh keindahan wajah Allah hingga merasa kekal bersamanya).
Fana` dan baqa` merupakan ahwal bukan maqam jadi datang dan pergi semata karena
pemberian Allah.
Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga
tergambar dalam ungkapan berikut :
“Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku
adalah Engkau. Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi
satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab,
Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia
berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.” Dalam ittihad
kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku
dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.”
Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk
pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari ?” Orang itu menjawab. “Abu
Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah
Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara
sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam
sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan
golongan awam. Padahal Abu Yazid tidaklah seorang musrik atau kafir, akan
tetapi ia adalah seorang wali Allah.
Penutup
Dari pembahasan di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan
sebagai kesimpulan, yaitu, Abu Yazid Al Bustami seorang tokoh sufi yang sangat
zuhud dan dekat kepada Allah, yang mampu mengklai kedekatannya dengan Allah
dengan statemen yang menyetarakan dirinya dengan Allah. Pokok-pokok ajaran
tasawufnya adalah fana dan baqa’. Fana’ berasal dari
kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah
tasawuf, fana ada kalanya diartikan sebagai keadaan moral yang
luhur. Baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti
dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti
mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Selai itu adalah Ittihad. Ittihad adalah
tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi
tahapan fana dan baqa’.
Dalam memahami konsep tasawuf Abu Yazid al-Bustami, apalagi
ungkapan-ungkapannya yang menyebabkan banyak orang yang mengklaimnya sebagai
kafir, sekiranya perlu dipahami dengan tepat. Artinya, seorang Abu Yazid ketika
misalnya mengatakan سبحاني (maha suci aku) tidak bisa dipahami serta-merta
bahwa ia adalah tandingan Tuhan, atau mempersekutukan Tuhan. Memahaminya perlu
dilakukan dengan pendekatan sufistik, bahwa karena kedekatannya dengan Tuhan
seakan-akan tidak ada lagi yang membedakanya dengan Tuhan, akan tetapi ia tetap
sebagai hamba.
Demikianlah seorang Abu Yazid al-Bustami menggagas konsep
tasawufnya. Walaupun bagi sebagian kalangan dikatakan berlebihan, namun apa
yang telah ia capai seperti kesucian dan pengabdian yang tinggi kepada Allah,
hendaknya dijadikan cerminan bagi umat Islam untuk tetap menjaga kesucian, dan
memperjuangkan kedekatan kepada Allah.
0 Response to "ABU YAZID AL-BUSTHAMY"
Post a Comment