RASYID RIDHA
RIWAYAT HIDUP
Rasyid Ridha lahir pada tanggal 27 Jumada al-ula 1282 H/ 23 September
1865 M. tapi dalam arsip kementerian dalam negeri kerajaan Utsmani, ia lahir
pada tahun 1279 H. di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak
jauh dari kota Tarabuls Syam. Terletak di pantai pada pertengahan gugusan
gunung Lebanon, jauhnya sekitar tiga mil dari kota Tripoli Syria. Menurut
keteranga, ia berasal dari keturunan Husain, cucu nabi Muhammad Saw. Oleh
karenanya, ia memakai gelar Syyid di depan namanya.
Ayah Rasyid Ridha ialah al-Sayyid Ali Ridha, keturunan Husain ibn Ali
ibn Abi Thalib. Ia dilahirkan di Qalamun. Di desa ini ia mulai belajar membaca
dan menulis serta selanjutnya menuntut ilmu di Tripoli pada al-Syaikh Mahmud
Nasyabat. Ia berhenti sebagai pelajar sebelum memperoleh ijazah keguruan,
karena orang tuanya berkeinginan keras agar ia bekerja di kantor pemerintahan
dan membantunya dalam penyelesaian berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan
pemerintahan dan orang banyak. Akan tetapi ia belajar secara otodidak dengan
menelaah berbagai buku. Ia merupakan orang yang memiliki daya ingatan yang
sangat kuat, kefasihan, keberanian dan pendidikan dan membela umat Islam
terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Ayahnya, adalah salah seorang ulama dan ahli Tarekat Syadzaliyah. Karena
itu Rasyid Ridha pada waktu kecilnya selalu mengenakan jubah dan sorban. Tekun
dalam pengajian dan wirid sebagaimana kebiasaan pengikut Tarekat Syadzaliyah.
Semasa kecil Rasyid Ridha dimasukkan ke madrasah tradisional di
al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Alquran. Tahun 1299 H,
ia meneruskan pelajarannya di Madrasah Wathaniyah yang didirikan dan dikepalai
oleh ustadznya, al-Syaikh Husein Afandi al-jisr, di Tripoli. Di madrasah ini
diajarkan ilmu pasti, ilmu kalam, bahasa Turki, dan Prancis. Ia baru mendapat
ijazah al-tadris dari syaikh pada tahun 1315 H. al-Syaikh Husein
al-Jisr adalah satu-satunya ulama terbesar di Syria yang telah dipengaruhi oleh
ide-ide modern. Dari sini tampak bahwa Rasyid Ridha sejak umur 17 tahun belajar
ide-ide modern atas bimbingan Syaikh Husein al-Jisr. Karena mendapat
tantangan dari pemerintah Kerajaan Utsmani, umur sekolah itu tidak panjang.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang
ada di Tripoli. Tetapi dalam pada itu hubungan dengan Syaikh Husain al-Jisr
berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda.
Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddina al-Afghani dan
Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwath al-Wusqa. Ia berniat untuk
menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istambul tetapi niat itu tak terwujud.
Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat
kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan muris Al-Afghani yang
terdekat ini. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya dengan Muhammad Abduh
meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaharuan
yang diperolwhnya dari Syaikh Husain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi
dengan ide-ide Al-Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih
berada di Syria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan
Utsmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan
pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai
di negeri gurunya.
Di Mesir bersama-sama dengan Muhammad Abduh (gurunya) menerbitkan
majalah al-Manar yang bertujuan sama dengan al-Urwah al-Wusqa di Paris. Di
dalam majalah tersebut Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha menuangkan
sistem/pembaruan (tajdid) di bidang agama, sosial, ekonomi dan memberantas
bid'ah, paham-paham yang bertentangan dengan alirannya dan meningkatkan mutu
pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara
Barat.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsiran modern dari Alquran,
yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu
menganjurkan kepada Muhammad Abduh supaya menulis tafsir modern tetapi guru
tidak sepaham dengan murid dalam hal ini. Karena selalu didesak, Muhammad Abduh
akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir Alquran di Al-Azhar.
Kuliah-kuliah itu dimulai di tahun 1899 dan dihadiri oleh Rasyid Ridha.
Keterangan-keterangan yang diberikan guru dicatat untuk seterusnya disusun
dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada
guru untuk diperiksan. Setelah mendapat persetujuan karangan itu ia siarkan
dalam Al-Manar. Dengan demikian timbullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir
al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia
meninggal di tahun 1905. Setelah guru meninggal, murid meneruskan penulisan
tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan guru. Muhammad Abduh sempat
memberikan tafsiran sampai dengan ayat 125 dari surat Al-Nisa' (jilid III
dari Tafsir al-Manar) dan selanjutnya adalah tafsiran murid sendiri.
Selama 70 tahun Rasyid Ridha dalam penuh kesibukan, untuk menuntut
ilmu, menulis dan mengarang, ceramah, mu'tamar, mencetak dan menyalurkan,
termasuk politik, kegiatan masyarakat dan menulis tafsir. Bahka terkadang dalam
perjalanannya dia pakai untuk menulis, karena waktu istirahat boleh dikatakan
tidak ada. Dan pada saat ia sakit, selalu membaca sampai menjelang akhir
hayatnya. Rasyid Ridha adalah manusia yang berpikiran bebas, tidak mau menerima
sesuatu pemikiran kecuali yang masuk akal dan berdasarkan dalil, ia punya
naluri kuat untuk mengetahui yang haq; ia menjelaskan dalam Al-Manar dan
Al-Azhar pendapatnya yang tidak sama dengan gurunya. Hasan al-Jisr, seluruh
pendapat dalam kitab tersebut bukan dari siapa-siapa, tapi dari Rasyid Ridha
sendiri. Dia juga mengatakan bahwa tidak pernah membaca sedikitpun buku Ibn
Taimiyah, ktiad Ibn Qayyim dan bahkan dia mendengar dari pendapat orang bahwa
Wahabiyah termasuk bid'ah dan ia tidak tahu sedikitpun tentang mereka. Ini
semua menunjukkan kebebasan berpikir Rasyid Ridha dan ide-idenya yang mencakup
pembaharuan pemikirannya dalam tafsir, pemberantasan bid'ah dan khurafat sarta
metode awal mengajar manusia.
Di sisi kebiasaan, Rasyid Ridha punya adat yang patut ditiru, ia bangun
sebelum fajar, lalu mengambil wudhu, lantas membaca Alquran sampai datang waktu
subuh setelah itu shalat; sehabis shalat membaca buku-buku yang ada di ruang
pribadinya sampai pagi, keluar berjalan-jalan di tepi Nil sambil menghapat
Alquran dan pulang untuk makan pagi. Selalu shalat berjamaah dengan keluarganya
dan mengajar anak-anaknya tentang dasar-dasar agama dan Alquran. Hdiupnya
sangat disiplin, teratur dan penuh dengan nilai-nilai edukatif dalam lingkungan
keluarganya.
Pada hari kamis 22 Agustus 1935/ 23 Jumadil Ula 1354, Rasyid Ridha
mengantar Amir Saudi, Abdul Azi, ke Suez dengan mengendarai mobil, ia pulang
pada hari itu juga dan langsung jatuh sakit, kemudian wafat. Sebelumnya
dia telah menderita penyakit tekanan darah tinggi. Ia meninggal dunia dengan
aman sambil memegang Alquran di tangannya.
PEMIKIRAN TEOLOGI RASYID RIDHA
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha tidak
banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani. Ia juga
berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang ajaran-ajaran agama salah
dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Ke dalam Islam telah banyak masuk bid'ah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat.
Memberantas Bid'ah
Di antara bid'ah ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran
kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapta memperoleh segala apa yang
dikehendakinya, sedang kebahagiaan di akhirat dan dunia diperoleh, demikian
Rasyid Ridha, melalui huum alam yang diciptakan Tuham. Satu bid'ah lain yang
mendapat tantangan keras dari Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat
tentang tidak pentingnya hidup duniawi, tentang tawakal, dan tentang pujaan dan
kepatuhan berlebihan-berlebihan pada syekh dan wali.
Umat harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni
dari segala bid'ah yang mendatang itu. Islam murni itu sederhana sekali,
sederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalatnya. Ibadah kelihatan berat
dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadat telah ditambahkan
hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunat. Mengenai hal-hal yang
sunat ini terdapat perbedaan paham dan timbullah kekacauan. Dalam soal
muamalat, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan,
pemerintahan syura. Perinciap dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan
kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fikih mengenai hidup kemasyarakatan,
sungguhpun itu didasarkan atas Alquran dan Hadis tidak boleh dianggap absolut
dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan
zaman ia timbul.
Memajukan Pendidikan
Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain
membentuk lembaga yang bernama al-Dakwah wa al-Irsyad pada tahun 1912
di Kairo. Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di Konstantinopel
terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi gagal, karena tidak
mendapat dukungan pemerintah, akhirnya beliau mendirikannya di Kairo. Para
lulusan akan di kirim ke berbagai dunia Islam yang memerlukan bantuan mereka.
Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu pecahnya
Perang Dunia I.
Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Menurut Rasyid Ridha, akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang
tidak disebutkan dalam Alquran dan Hadis, dan untuk mengetahui ajaran-ajaran
Islam yang berhubungan dengan muamalat (hidup kemasyarakatan atau hal-hal yang
bersifat duniawi). Adapun dalam bidang ibadah, akal tidak mampu untuk
mengetahuinya.. oleh karena itu, obyek ijtihad menurutnya hanyalah
dalam bidang kemasyarakatan, bukan dalam bidang ibadah; karena persoalan
kemasyarakatan mengalami perubahan; sedangkan persoalan ibadah tidak mengalami
perubahan. Hal ini bukan berarti ia menganggap akal tidak berfungsi sama
sekali. Akal menurut pandangannya penting dalam memberikan interpretasi
terhadap persoalan-persoalan teologis, memahami ayat-ayat Alquran; dan meneliti
hadis nabi dan pendapat sahabat. Selanjutnya ia menyebutkna bahwa akal manusia
tidak mampu mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya. Adapun untuk
memperoleh hikmah dan hujjah serta kemantapan pemahaman tentang ketuhanan setelah
mengikuti wahyu, akal manusia mempunyai fungsi yang sangat signifikan dan
kedudukan yang tinggi.
Menurut Rasyid Ridha, hasil temuan akal tidak dapat disejajarkan dengan
wahyu. Baginya, derajat wahyu lebih tinggi daripada temuan akal. Jika dalam
memahami ajaran agama, hasil temuan akal bertentangan dengan wahyu, maka wahyu
harus diutamakan. Apabila dibandingkan wewenang yang diberikan oleh Rasyid
Ridha terhadap akal denga wewenang yang diberikan oleh aliran-aliran kalam
terhadap akal, maka ia memberikan wewengan yang sangat lemah terhadap akal,
bahkan lebih lemah daripada wewenang yang diberikan al-Asy'aruyah dan
Maturidiyah Bukhara. Hal ini menunjukan bahwa ia ternyata lebih tradisional
daripada al-Asy'ariyah dan Maturidiyah Bukhara.
Selanjutnya apabila dibandingkan pendapat Rasyid Ridha dengan kekempat
aliran kalam (Mu'tazilah, Maturidiyah Samarkan, al-Asy'ariyah, dan Maturidiyah
Bukhara) dalam memposisikanwahyu untuk mengetahui persoalan-persoalan pokok
dalam teologi, maka Rasyid Ridha memberikan fungsi terbesar kepada wahyu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tipologi Harun Nasution,
corak teologi Rasyid Ridha ditinjau dari pemikirannya tentang kekuatan akal dan
fungsi wahyu adalah tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Charles C. 1986. Islam and Modernism in Egypt, United
States of America: Russell & Russell.
Nasution, Harun. 2001. Pembaharuan Dalam
islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.