HASAN AL-BASHRI
Riwayat hidup Hasan Al-Bashri
Nama
lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat
masyhur di kalangan tabi’in. Ia juga seorang ulama besar dalam beberapa bidang
ilmu, seperti hadits, fiqih, dan tafsir, juga seorang pendidik dan sufi.
Ayahnya bernama Yasar Al-Bashri Maula Zaid bin Tsabit Al-Anshari, sedangkan
ibunya bernama Khairah Maulat Ummu Salamah. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun
21 H. (642 M.) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H.
(728 H.). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khattab wafat. Ia
dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut peperangan Badar dan 300
sahabat lainnya. Keluarga Hasan Al-Bashri adalah keluarga yang berilmu dan
menaruh perhatian terhadap ilmu, terutama Al-Qur’an dan Hadits. Ibunya sendiri,
yang sangat dekat dengan Ummu Salamah, salah seorang istri Rasulullah SAW,
tergolong orang berilmu.Ibunya itu adalah seorang penghafal dan periwayat
hadits, yang menerima dan meriwayatkan banyak hadits dari Ummu Salamah.
Pendidikan
Awal
Hasan Al-Bashri diperolehnya dari lingkungan keluarganya sendiri, Ibunya adalah
gurunya yang pertama. Kehidupan keluarganya di Madinah, yang berlangsung selama
kurang lebih 16 tahun sejak kelahiran Hasan Al-Bashri sampai dengan
perpindahannya ke Basrah, member warna tersendiri bagi perkembangan
pengetahuannya. Ibunya banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan Hasan Al-Bashri dan saudaranya. Berkat pendidikan dan pembinaan
dari ibunya, maka pada usia 14 tahun Hasan sudah menghafal Al-Qur’an. Sejak
usia dini seperti ini ia juga telah banyak mendengar riwayat (hadits) dari
ibunya. Pergaulannya dengan para sahabat Nabi SAW membuat cakrawala
pengetahuanagamanya, terutama hadits, bertambah luas. Ahmad Isma’il Al-Basit,
seorang ulama Yordania, membagi masa kehidupan Hasan atas tiga periode, yaitu :
·
Periode
tahun 21-42 H,
·
Periode
tahun 43-53 H,
·
Periode
tahun 53-110 H.
Periode
pertama merupakan periode Hasan di Madinah. Pada masa ini ia banyak menimba
ilmu, tidak hanya pada ibunya, melainkan juga dari sebagian sahabat. Pada
periode kedua ia mulai melibatkan diri dalam berbagai peperangan dan penaklukan
wilayah-wilayah baru. Pada saat yang bersamaaan, ia juga bertemu dengan banyak
sahabat Nabi SAW dan menimba ilmu dari mereka. Periode ketiga ia habiskan
waktunya di Bashrah untuk menyampaikan dan mengajarkan ilmunya. Dialah (Hasan
Al-Bashri) yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu
kebatinan, kemurnian akhlak, dan usah menyucikan jiwa di Masjid Bashrah.
Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunah Nabi.
Sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Suatu ketika
seorang dating kepada Anas bin Malik-sahabat Nabi yang utama-untuk menanyakan
persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai
kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada
syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang
tabi’in pun yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.”
Karir
Pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hamper kepada seluruh ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang
membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Disamping dikenal sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Untuk mengembangkan ilmu yang pertama diterimanya, ia membuka Madrasah Hasan Al-Bashri,yaitu sebuah forum khusus untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan para murid. Di maadrasah inilah ia mengajarkan berbagai ilmu keislaman. Ia menyampaikan pesan-pesan pendidikannya melalui dua cara. Pertama ia mengajak murid-muridnya untuk menghidupkan kembali kondisi masa salaf, seperti yang terjadi pada masa para sahabat Nabi SAW, terutama pada masa Umar bin Khattab, yang selalu berpegang kepada Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW. Kedua, ia menyeru murid-muridnya untuk bersikap zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia. Zuhud menurut pengertiannya ialah tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada.
Dr.
Abdul Mun’im al-Hifni, seorang ahli tasawuf Cairo, memasukan Hasan al-Basri
dalam kelompok sufi besar. Dengan mengutip pendapat Abu Hayyan at-Tauhidi
(seorang ahli tasawuf), ia mengatakan bahwa Hasan al-Basri adalah seorang zahid
yang warak dan penasihat yang nasihatnya menyejukan hati dan kalimatnya
menyentuh akal. Tentang tasawuf, Hasan al-Basri berkata, “Barang siapa yang
memakai tasawuf karena tawadlu’ (kepatuhan) kepada Allah akan ditambah Allah
cahaya dalam diri dan hatinya, dan barang siapa yang memakai tasawuf karena
kesombongan kepada-Nya akan dicampakkan-Nya ke dalam neraka.”
Ajaran-ajaran tasawufnya
Kedalaman
pengetahuan Hasan Al-Bashri mengenai tasawuf membuatnya cenderung untuk
mengartikan beberapa istilah dalam agama islam menurut pendekatan tasawuf.
Islam, misalnya, diartikannya sebagai penyerahan hati dan jiwa hanya kepada
Allah SWT dan keselamatan seorang muslim dari gangguan muslim lain. Orang
beriman, menurutnya, adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang dikatakan
Allah SWT, itu pulalah yang harus dia katakan. Orang mukmin ialah orang yang paling
baik amalannya dan paling takut kepada Allah SWT. Para sufi, menurut
pengertiannya, ialah orang yang hatinya selalu bertakwa kepada Allah SWT dan
memiliki cirri-ciri antara lain sebagai berikut: berbicara benar, menepati
janji, mengadakan silaturahmi, menyayangi yang lemah, tidak memuji diri, dan
mengerjakan yang baik-baik. Faqih, menurutnya, ialah orangyang zahid terhadap
dunia dan senang terhadap akhirat, melihat dan memahami agamanya, senantiasa
beribadah kepada Tuhannya, bersikap warak, menjaga kehormatan kaum muslimin dan
harta mereka, dan menjadi penasihat dan pembimbing bagi masyarakatnya.
Sebagaimana sufi lainnya, Hasan Al-Bashri sangat takut terhadap siksaan Allah
SWT. Abdul Mun’im Al-Hifni menggambarkan bahwa Hasan Al-Bashri tampak seperti
orang yang selalu ketakutan. Ia selalu merasa takut karena membayangkan bahwa
neraka itu seakan-akan diciptakan oleh Allah SWT semata-mata untuk dirinya.
Nasihatnya
yang terkenal diucapkannya ketika beliau (Hasan Al-Bashri) diundang oleh
penguasa Iraq, Ibnu Hubairoh, yang diangkat oleh Yazid bin Abdul Malik. Ibnu
Hubairoh adalah seorang yang jujur dan sholeh, namun hatinya selalu gundah
menghadapi perintah-perintah Yazid yang bertentangan dengan nuraninya. Ia
berkata, “Allah telah memberi kekuasan kepada Yazid atas hambanya dan
mewajibkan kita untuk mentaatinya. Ia sekarang menugaskan saya untuk memerintah
Iraq dan Parsi, namun kadang-kadang perintahnya bertentangan dengan kebenaran.
Ya, Abu Sa’id apa pendapatmu? Nasihatilah aku …” Berkata Hasan Al-Bashri, “Wahai
Ibnu Hubairoh, takutlah kepada Allah ketika engkau mentaati Yazid dan jangan
takut kepada Yazid¬ketika engkau mentaati Allah. Ketahuilah, Allah membelamu
dari Yazid, dan Yazid tidak mampu membelamu dari siksa Allah. Wahai Ibnu
Hubairoh, jika engkau mentaati Allah, Allah akan memelihara¬mu dari siksaan
Yazid didunia, akan tetapi jika engkau mentaati Yazid, ia tidak akan
memeliharamu dari siksa Allah di dunia dan akhirat. Ketahuilah, tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam ma’siat kepada Allah, siapapun orangnya.”
Berderai air mata Ibnu Hubairoh mendengar nasihat Hasan Al-Bashri yang sangat
dalam itu.
Hasan
Al-Bashri masyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan khauf (takut kepada
kemurkaan Allah SWT dan raja’ (mengharapkan rahmat Allah SWT). Yang dimaksud dengan
khauf ialah takut terjerumus pada kemaksiatan yang akan mendapat kemurkaan dari
Allah SWT. Khauf harus diiringi dengan raja’, yakni senantiasa mengharap
karunia Allah SWT. Oleh sebab itu, Hasan Al-Bashri mengatakan: “Jauhilah dunia
ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan,
tetapi racunnya mematikan.”
Abu
na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai
berikut, “takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung
kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat
Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh
perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata,
“Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya
dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri).”
Lebih jauh
lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini:
a. “Perasaan
takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang
menimbulkan perasaan takut.”
b. “Dunia
adalah negeri tempat beramal. Barangsiapa bertemu dunia dengan rasa benci dan
zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barangsiapa
bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambal dengan dunia, ia akan
sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapatditanggungnya.”
c.
“Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak
mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyaknya tidak akan menyamai
sesuatu yang baqa’ betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat
datang dan pergi serta penuh tipuan.”
d. “Dunia ini
adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati
suaminya.”
e.
“Orang yang beriman akan senantiasa berduka-cita pada pagi dan sore hari karena
berada di antara dua perasaan takut: takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
f.
“Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan
juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”
g. “Banyak duka
cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh.”
Berkaitan
dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat
Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa
takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, ada yang meneliti bahwa ternyata
bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi
kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinyalah yang mendasari
tasawufnya itu. Sikapnya itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, “Orang
beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana
orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung
itu akan menimpa dirinya.”
KESIMPULAN
Hasan
Basri merupakan ulama’ zahid yang masyhur, dasar utama hasan al basri adalah
kezuhudan yaitu meninggalkan segala kenikmatan, kemewahan, kesenangan dunia.
Hasan basri mengumpamakan dunia sebagai ular halus di luar nya tapi biasa nya
beracun. Oleh sebab itu beliau menganjurkan untuk meninggalkan kesenangan dunia
karena dunia bisa membuat kita berpaling dari kebenaran dan membuat kita selalu
memikirkan nya.
Prinsip
ajarannya adalah khauf dan raja’ ,yaitu takut dan berharap maksudnya adalah
takut dengan siksaan allah swt karena melakukan dosa dan sering meninggalkan
perintahnya, takut pada murka Allah dan juga di iringi dengan harapan / selalu
berharap agar mendapat ridhlo dari Allah swt. Oleh karena itu prinsip-prinsip
ajran ini mengandung kesiapan dalam melakukan introspeksi diri agar
selalu memikirkan kehidupan yang hakiki dan abadi.
REFRENSI:
·
Rosihin
anwar.ilmu tasawuf.pustaka setia.bandung
·
bs-crew.blogspot.com
0 Response to "HASAN AL-BASHRI"
Post a Comment