AL-HALLAJ




Riwayat Hidup (latar belakang Internal dan eksternal , pendidikan)


Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini. Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah.
Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884 M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta).
Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.

Enam tahun berlalu, dan pada 892 M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu).
Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq).
Di saat inilah ia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923 M ia ditangkap Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Pemikiran Tasawuf Al-Hallaj
Dalam jagat tasawuf, nama Al-Hallaj bukanlah sesuatu yang sulit diingat. Tokoh tasawuf ini, oleh sebagian ulama dianggap sebagai orang yang murtad. Namun tidak sedikit ulama yang memuji konsep dan ajaran tasawuf beliau.
Terlepas dari semua itu, penulis hendak memberikan informasi penting kepada pembaca terkait inti ajaran Al-Hallaj. Jika memang ada ketidaksepakatan dengan apa yang dirumuskan AL-Hallaj, maka itu bagian dari dinamikan pemikiran Islam yang tidak perlu disikapi dengan kemarahan.
Baik. Al-Hallaj memiliki nama panjang, yakni Abu al-Mughist al-Hasan bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, dan dikenal dengan nama al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H/855 M, di desa Thur dekat desa bida di Persia.
Tidak usah diragukan lagi, Al-Hallaj menimba ilmu tasawuf tidak instan. Ia sejak kecil dia sudah banyak bergaul dengan sufi terkenal. Bayangkan saja, pada usia 16 tahu, ia  sudah menimba ilmu kepada Sahil bin Abdullah al-Tusturi, salah seorang tokoh terkenal pada abad ke tiga Hijriyah dan seterusnya dia meneruskan pelajarannya kepada Amr Al-Makky dan Junaid Al- Bagdadi.
Pelajaran dan ilmu demi ilmu ia dapatkan melalui pencariannya terhadap para guru ahli tawasuf. Tentu dalam posisi ini, pergolakan dan kematangan ilmu tasawufnya sangat kental. Sehingga menjadikan AL-Hallaj, ketika itu berusia 53 tahun, menjadi perbincangan para ulama waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain.
Nah, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa ajaran tasawuf AL-Hallaj? Berikut penulis uraiankah secara singkat:
Pertama, hulul.
Ajaran ini dimulai dari pandangan Al-Hallaj yang mengatakan bahwa Allah memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiasan (nasut). Sifat ini, oleh Al-Hallaj dikembang oleh Al-Hallaj bahwa demikkian pula manusia, disamping memiliki sifat kemanusiaan juga memiliki sifat ketuhanan dalam dirinya.
Paham al-Hallaj ini juga dapat dilihat dari penafsirannya mengenai penciptaan nabi Adam (QS. al-Baqaarah, 34). Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Menurut al- Hallaj,  Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagai mana Dia menjelma (hulul) dalam Isa a.s. Dengan demikian, dapat dipahami pula bahwa ketika Allah menjelma dalam diri Adam, maka hal itu berarti Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuknya.
Cara lebih lanjut agar dapat bersatu dengan Allah, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat “kemanusiaan melaluin Fana”. Setelah sifat-sifat kemanusiaan itu hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, disitulah baru tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Pada posisi inilah, Al-Hallaj bersatu dengan Tuhan. Penyatuan ini disebut hulul. Dari sini, Al-Hallaj mengalami pengalaman syathahat dengan mengatakan: Ana al-Haqq (Aku adalah Tuahan). Hal ini berarti, bukanlah roh al-Hallaj mengucapkan itu, tetapi roh Tuhan mengambil tempat dalam dirinya.
Dengan kata lain bahwa al- Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula ia tegaskan, Aku adalah rahasia yang maha benar, dan bukanlah yang maha benar itu aku, Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.
Kedua, haqiqih Muhammadiyah.
Adapun ajaran Al-Hallaj lainnya adalah hakikah muhammadiyah atau Nur Muhammad. Yaitu asal atau sumber dari segala sesuatu, segala kejadian,  amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Nur Muhammad inilah alam ini dijadikan.
Didalam kitabnya at-Tawasin, al-Hallaj menulis: “Cahaya-cahaya kenabian memancar dari cahayanya. Cahaya-cahayanya punterbit dari cahayanya. Dalam cahaya-cahaya itu tidak satupun cahaya yang lebih cemerlang, gemerlap dan terdahulu dari cahaya pemegang kemuliaan (Muhammad saw).
Ketiga, wahbah al-Adyan (kesatuan semua agama).
Paham atau ajaran ketiga ini sangat berkorelasi dengan ajaran kedua. Bahkan bisa dikatakan bahwa paham ketiga ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya tentang Nur Muhammad. Dari pemahan Nur Muhammad sebagai sumber yang pertama di dunia ini, lantas berkesimpulan tentang kesatuan semua agama, dengan alasan bahwa sumber semua agama adalah satu, Nur Muhammad.
Bagi ulama fiqih yang biasanya beribaca soal Halal-Haram, ajaran Al-Hallaj dianggap kafir. Ada juga beberapa kalangan menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahsia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”. Namun ada juga yang menyanjung dan mendukung bahkan mencoba mengamalkan jaran Al-Hallaj. Wallahu a’lam bi al-shawab.
REFERENSI:
·        Harakatuna.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "AL-HALLAJ"

Post a Comment